Sudah lima belas menit aku menunggunya di depan gerbang sambil mengunyah roti isi coklat. Tapi batang hidungnya tak kunjung nampak. Lima menit lagi bel sekolah akan berbunyi. Jika ia belum datang juga, aku akan duluan masuk ke kelas.
Siswa-siswa dari sekolah lain sudah mulai masuk ke area sekolah dengan mendorong motor mereka. Karena memang di kompleks sekolahan seperti ini dilarang menyalakan motor. Jadi bagi yang membawa motor akan mendorong motor mereka dari perempatan kompleks hingga ke sekolah masing-masing.
Kalau sekolahnya jauh dari perempatan, ya nasib namanya. Untung sekolahku bukan yang paling ujung.
Kulempar plastik pembungkus roti ke tong sampah. Kemudian mengambil botol minum di saku tasku. Aku meneguk perlahan-lahan menikmati air yang mengalir ke kerongkongan.
Siswa dari sekolah di sekitar sekolahku sudah berbaris memarkir motor mereka. Satpam sekolah mereka yang dari tadi menunggu di samping gerbang sudah bersiap-siap menutup gerbang masing-masing sekolah.
Aku makin resah. Aku lihat jam tangan warna hitam di pergelangan tangan kiriku. Kurang tiga menit lagi. Ke mana sih dia?
Aku mulai tidak sabar. Aku berjalan mondar-mandir di depan gerbang sambil menggigit bibir ke dalam.
"Masuk nggak, Mal? Udah mau bel nih."
Bagio, satpam sekolah yang sering bersekongkol denganku agar dia bisa tetap masuk ke sekolah walau terlambat satu menit bertanya sambil bersandar di sisi gerbang.
Aku mendecak. Itu bukan pertanyaan pertama dari Bagio. Melainkan sudah yang ketiga kalinya pagi ini. Dan Raden belum juga terlihat tanda kehadirannya.
Aku sudah sering melakukan hal ini. Mengomelinya juga sudah tidak terhitung. Hanya saja Raden yang memang tidak tahu diri.
"Ck. Ngomongnya sih masuk. Tunggu bentar, Bang. Masih tiga menit ini."
"Itu pacar kamu kenapa sih dateng suka telat?"
"Dia sukanya mepet, Bang. Bukan telat."
"Mepet siapa? Mepet kamu?"
"Ngapain mepet-mepet aku?" Aku bertanya bingung. Kepalaku menoleh ke arah Bagio.
"Mepetin kamu biar telat." Bagio mendengus sebal.
"Dikira aku bajaj apa dipepet." Aku mendengus tak kalah sebal. Aku membuang muka ke arah jalan. Melihat wajah Bagio menambah rusaknya suasana hatiku.
Dari tikungan paling ujung, akhirnya aku lihat dia. Pemuda itu mendorong motor bebeknya dengan berlari-lari. Baju bagian bawahnya keluar dan kusut. Pertanda kalau sebelumnya sempat dimasukkan ke dalam celana. Tas ranselnya digantungkan di kedua spion motornya. Helm bawaan dari pembelian motor masih nangkring manis di kepalanya.