Triangulasi

Erna Widi
Chapter #1

Teman Lama

Satu tahun sebelum pendakian Merbabu tahun itu.

Jangan sekali-sekali bicara pada orang gila, pesan Latifah, anak Pak Bani, di desa itu.

Mestinya akhir pekan itu, Kelana, pemuda gondrong sebahu yang duduk di teras kayu ikut ke pantai bersama teman satu KKN-nya. Mestinya pemuda kurus itu menurut saja program kerja yang digariskan padanya, tak perlu sok-sok mencari jati diri. Lagi pula, apa untungnya bertegur sapa dengan pria tua yang suka menggumam sendiri di atas jok sepeda onthel tuanya yang memboncengi seikat besar daun tembakau. Lagi pula, apa untungnya sengaja menabrak stigma agar jangan sekali-sekali mendatangi rumah si pria tua kecuali ia sedang tak kambuh lagi.

Tapi pemuda itu memilih sekali-sekali. Dan semua orang tidak pernah tahu kapan pria tua bisa kambuh kembali.

Orang-orang bilang, kekambuhan pria tua tak cukup hanya dengan menggumam dan tertawa sendiri. Pria tua kadang mengamuk, berteriak-teriak menyebut nama orang dan binatang, dan melempar segala macam barang. Sebenarnya orang-orang tak berani menguping, tapi kadang kegaduhan terdengar sampai ke rumah tetangga. Jarak rumah pria tua dan tetangga terjeda oleh pekarangannya yang luas. Tapi siapa yang tak dengar kalau dia berteriak di tengah desa yang sunyi?

Namun, hari itu tampaknya si pria tua sedang waras-warasnya. Setidaknya semenjak si pemuda gondrong mengenalnya tidak tampak jejak-jejak kegilaan yang disebutkan orang-orang.

"Dulu, bisa merokok cangklong nikmatnya luar biasa. Ada kebanggaan tersendiri," ucap si pria tua di sela isapan sigaretnya. Kepulan asapnya membentuk memori. Pria tua kepala botak tapi gondrong seperti Socrates itu pernah bercerita kalau rokok cangklong hanya bisa diisap oleh orang yang cukup uang di masanya. Di masa lalu.

"Tapi," lanjutnya, "bisa menanam sendiri tembakaunya, merajangnya, menjemur sampai kering, lalu mencampur dengan cita rasa cengkeh atau kemenyan ternyata lebih nikmat dari jenis rokok apa pun."

Pada Kelana, pria tua itu pernah bercerita kalau tanah kapur sebetulnya tak terlalu cocok untuk bertanam tembakau. Tetapi pria tua tetap menanam tembakau. Dengan cita rasa khas yang tak sama dengan tembakau dari dataran mana pun. Pria tua yakin tembakaunya punya cita rasa sendiri dan memiliki pasar sendiri. Ia pernah memamerkan hasil kerja kerasnya itu pada Kelana: puluhan lembar uang kertas yang disimpan di saku bajunya yang berlapis-lapis. Katanya suatu hari, "Kerja kerasku sebagai petani tembakau tak sebanding dengan negara yang menghidupi statusku sebagai veteran. Sebagian kupakai bayar pajak, itu artinya aku membayar tunjanganku sendiri."

Kelana, si pemuda kurus itu, terbius oleh kagum. Tak menyangka setua ini masih bisa selincah itu. Lelaki tua sebaya Mamo—yang umurnya lebih tua dari usia negara—masih sigap dan bisa mengingat dengan baik. Bagaimana mungkin orang-orang tega mengatakan Mbah Mun gila? Bagaimana mungkin segila ini ia secara sistematis mengurusi ladang tembakaunya sendirian?

Sudut hidung Kelana sibuk membaui aroma tembakau yang terhampar hijau hampir menyelimuti seluruh pekarangan itu. "Anaknya njenengan di mana, Mbah Mun? Apa tidak membantu Mbah?"

Dahi keriput itu mengerut. Mbah Mun cemberut.

Lihat selengkapnya