Triangulasi

Erna Widi
Chapter #2

Climbing On

Satu bulan sebelum mendaki Merbabu tahun itu.

“Bres, kamu nggak ke Gunung Slamet sama mas Walang?” tanya Gandrik dengan muka diciut-ciutkan mengikuti arah kaki yang susah memasuki sepatu panjat yang ditakdirkan sempit untuknya.

Matahari berada di balik wall climbing. Pendarannya menjadi gerhana bagi dua lelaki berjuluk Jebres dan Gandrik yang sedang latihan panjat sore itu. Keduanya memang menggilai olahraga panjat tebing meski tiap kali ikut turnamen tak selalu menggondol medali. Kali terakhir mereka latihan di alam terbuka berada di tebing Siung Gunungkidul yang terkenal dengan tebing karst yang beragam bentuk dan grade-nya.

“Minggu depan kan kita kegiatan, aku nggak ikut,” jawab Jebres yang menyipitkan matanya ke bagian atas wall tali kernmantel-nya tergantung sembari tangannya sibuk merapikan tali yang sempat mengendur.

“Mas Walang minta aku fokus kuliah sama kegiatan dulu. Lagi pula tamu cuma satu orang, Mas Walang bisalah meng-handle sendiri,” imbuhnya. Lelaki yang rambut gondrongnya dikuncir belakang itu mulai bercerita. Sementara itu tangannya sibuk men-setting harness di pinggang rampingnya untuk bersiap mem-belay teman panjatnya.

“Kamu sudah ngisi KRS?” Gandrik berdiri meyakinkan kakinya yang sudah berhasil menaklukkan sepatu panjat yang sempit itu. Sorot matanya menggerayangi tebing tiruan yang kokoh tegak di hadapannya.

Muka Kelana masih tunduk, matanya masih tertuju pada figure 8 yang ia kaitkan pada kernmantel. Ia tahu arah pertanyaan temannya: pertanyaan yang bukan sekadar soal mengisi KRS atau belum, tetapi seseorang bisa mengisi KRS tentu sudah harus membayar uang semester, kan?

Dan—klik—ia mengunci figure 8 pada carabiner. “Kuliahku tinggal beberapa SKS lagi dua semester ini."

Tirta Gandrik memasang tampang polos. Sungguh jawaban yang bukan jawaban, batinnya.

"Maksudku, kalau kamu nggak guiding ke gunung ...," ada jeda sejenak, "memang kamu sudah bayar semesteran?"

Sembari mengecek peralatan belay, Kelana Jebres tersenyum tipis.

"Uang bisalah dicari."

"Ndhase." Namun, Gandrik teringat Pelo yang pernah mengatakan kalau Kelana Jebres akhir-akhir ini sering menyendiri. Bahkan solo hiking ke Merbabu tanpa memberi kabar teman-temannya.

Gandrik melingkarkan kantong magnesium di pinggangnya. Seperti teringat sesuatu yang lain, ia menggodai, “Sepertinya sudah ada yang terbit, nih, artikelnya.”

Kelana Jebres tersenyum lebar.

“Serius?”

Senyumnya tambah lebar.

"Wuih, horang kaya. Mana ketambahan royalti buku juga dong pastinya?"

Kelana jadi teringat tentang jumlah royalti yang didapatnya. Tak seberapa jika dibandingkan harga jual di pasaran yang hasilnya harus dibagi dengan distributor, penerbit, dan dirinya sendiri. Tak seberapa jika dibandingkan dengan uang sewa kos, makan, dan uang buat gegayaan. "Nggak juga. Tapi lumayanlah."

“Yes!” Gandrik kegirangan. “Jangan lupa bayar pajak.”

“Orang miskin nggak bayar pajak.”

“Loh, jangan salah. Dulu ada yang janji ‘bayar pajak’ kalau artikelnya terbit.” Gandrik masih terkekeh dengan girang.

Kelana tersenyum kecut. Ia teringat pernah sesumbar hendak mentraktir teman-temannya di kedai kopi yang katanya agak mahalan dikit kalau salah satu artikelnya berhasil terbit. Namun ia tak pernah memperhitungkan segala sesuatu.

Sedikit risih menjadi pusat pembicaraan, Kelana melempar topik pada sang teman. “Dengar-dengar ada yang sudah keterima kerja, nih.”

Lihat selengkapnya