“Jadi, apa hasil rapat kemarin?” Sebuah suara bercita rasa medok nyaris mengaburkan fokus Kelana Jebres yang tengah menikmati lekuk dinding tebing buatan itu.
Ia tak langsung menjawab. Peluh tumbuh dari kontur tubuh bersinglet itu. Ia masih sibuk mengatur napas dan keseimbangan sebelum akhirnya menyahut, “Apa, Ndrik?”
Sementara tangan kanannya merasa aman memegang poin tanduk, tangan kirinya kulak magnesium di chalk bag-nya. Tapi angin sore yang berdansa dengan guguran daun-daun talok yang tumbuh liar di samping wall climbing itu menaburi wajahnya yang tirus sehingga ia memilih pejam ketimbang memperhatikan apa yang Tirta Gandrik bicarakan.
Angin peralihan memang tak bisa selembut sentuhan perempuan, batinnya.
Gandrik, pria kribo gondrong yang bertugas mem-belay itu menarik ulur tali kernmantel. Sementara itu matanya sibuk mengekor gerakan temannya yang tengah cosplay jadi Spiderman di tebing buatan belakang kampus itu.
“Hasil rapat kemarin apa?”
Kelana tak menghiraukan tanya. Ia masih bertahan di area overhang. Sebentar lagi top rope, pikirnya. Namun, ambisi membuatnya lupa bahwa tangannya terlampau licin untuk menggapai poin selanjutnya.
Dan, shit!
Pria itu tergelincir hingga bergelantungan di tali kernmantel yang terhubung dengan sang belayer. Perlahan Gandrik mulai mengendurkan belay-nya. Lalu kaki jenjang Jebres mendarat di paving block berumput itu.
“Kamu mengganggu konsentrasiku. Aku gagal top rope.”
“Sori.” Gandrik menyengir.
Jebres mengibas kedua pergelangan tangannya agar tak terasa kebas, lalu mengamati jalur panjatnya. Ia memanjat sekali lagi.
“Kamu tadi tanya apa?”
“Kamu bilang aku mengganggu konsentrasi. Kenapa kamu malah tanya,” rajuk Gandrik sambil menarik tali, “soal hasil rapat,” katanya akhirnya.
Tak sampai semenit, Kelana Jebres berhasil mencapai top rope atau puncak wall climbing. Begitu mendarat, urat nadi Jebres masih berkedut kencang dan jemarinya masih merona. Gadis-gadis—tak terkecuali gadis mata sipit itu—tekesima.
“Kamu tanya apa?”
Gandrik menghela napas panjang dan mengembuskannya sia-sia. Seolah lubang hidung yang membesar itu mampu menyedot udara yang berkeliaran. Sembari menggulung kernmantel ia mengulang tanya.
“Kemarin hasil rapatnya apa, Jebres? Sekali lagi aku harus ulang pertanyaan kukunci kamu di overhang.”
Si lelaki gondrong berkuncir manbun penuh peluh itu mengekeh. “Sekalian saja bonus gelas cantik.”
“Dih.”
Senang sekali Jebres membiarkan temannya itu tenggelam dalam kesal. Sejauh pertemanan mereka, Gandrik tak pernah bisa benar-benar marah nyaris dalam hal apa pun. Namun, tentu saja ia pernah marah.
“Jadi, kemarin itu bahas ...,”
Belum juga Jebres menyelesaikan kalimat pertamanya yang serius itu, sepasang sepatu gunung menderap mendekat mengalihkan perhatian sepasang climber-belayer itu.
Langkahnya semantap tangannya yang tengah menenteng sesuatu dalam kantong plastik hitam. Keduanya menoleh.
“Es teh,” kata seorang lelaki hitam manis yang baru saja datang seraya meletakkan kantong plastik hitam dengan beberapa sedotan warna merah jambu pada sebuah gelaran matras yang tergulung separuh.
“Aku nitipnya Aqua botolan.” Jebres memrotes. Ia masih melucuti peralatan panjat yang sebagian masih melekat di tubuh kurus penuh peluh itu.
“Bah, mana ada kau bilang,” sanggah sang lelaki berpotong rambut cepak dan tak memiliki lipatan kelopak mata itu. Teman-temannya bilang, karena matanya yang sipit dan kulitnya yang gelap, ia dijuluki “cina kebanyakan kecap”.
“Aku bilang tadi. Kamu saja yang tidak dengar.”