Enam bulan sebelum pendakian Merbabu tahun itu.
Perih.
Lelaki itu meringis mengaduhi punggungnya yang tengah terluka tergesek kaus yang dipakainya. Siang tadi ia sempat cedera saat menyetubuhi tebing-tebing karst Siung. Ia berbaring lagi, memiringkan tubuhnya ke sisi kiri dan bergelung dalam ayunan hammock parasut yang tengah tergantung di antara dua batang pandan pantai.
Sore itu meski laut sedang surut, ia tak bermain di pantai seperti kemarin. Teman-temannya basa-basi berkaok memanggili, tapi Kelana hanya berbalas lambaian tangan dan kembali menekuri angin pantai yang meninabobokannya. Bukankah seperti ini cukup membahagiakannya?
Samar-samar dilihatnya beberapa burung cerek jawa kegirangan sibuk mencangkuli pepasiran putih. Kadang kala mereka asyik berseteru dengan ombak. Bukan sedang menantang maut, tapi kepergian ombak membawa sejumlah makanan untuk mereka. Mestinya Kelana berebut kepiting dengan burung-burung laut itu. Namun, semangatnya tak semembara kemarin saat menginjak pasir pantai Siung, ia berburu kepiting dan ikan kecil untuk santapan makan malam bersama teman-teman pemanjat.
Tak jauh dari keriuhan burung-burung itu, seorang lelaki tua berkalung sarung krem lusuh sedang mengisap dalam-dalam lintingan tembakaunya. Kadang memandang ombak pantai, lebih seringnya menatap Kelana—yang sengaja agar pria gondrong itu menyadarinya. Lamat, ia mengamati sang pengamat dan mengenali wajahnya.
Tatapan itu seolah mengundang Kelana untuk datang padanya. Dan benar, Kelana bangkit dari hammock yang nyaman, berusaha melupakan perih di punggungnya, dan membalas senyum pada sang lelaki tua.
Seraya berjalan mengarungi hamparan pasir, Kelana merasa ada yang salah ketika lelaki tua berusaha menemuinya di pantai. Meskipun ia tahu, rumahnya memang tak jauh dari pantai dan sah-sah saja jika lelaki tua itu datang ke pantai kapan pun ia mau. Namun, yang tak Kelana ketahui, apakah lelaki itu sengaja datang untuk menemuinya atau hanya kebetulan yang tak terencanakan. Kelana tak pernah tahu.
Tangan kurus itu terulur. “Sore, Mbah Mun,” sapanya.
Telapak tangan tua itu menyambut erat tanpa membalas sapa. Kelana selalu merasa, genggaman lelaki tua itu merupakan refleksi sebentuk jiwa yang tangguh dan percaya diri. Aroma asap rokok lintingan itu melayangkan imaji Kelana, mungkin kisah hidup sang lelaki tua itu lebih keras daripada dirinya.
“Kenapa mung nonton?”
Mbah Mun dengan rambut putih panjangnya yang ikal bertopikan blangkon menunjuk tebaran bulatan-bulatan hitam di pepantaian dengan lintingan yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.
Ingin rasanya Kelana berkisah tentang punggungnya yang terluka dan akan semakin terluka jika terkena air laut, tetapi ia urung. “Sedang ingin istirahat, Mbah.”
Aroma pekat nikotin tanpa filter itu mengudara cepat-cepat. Lelaki tua menyodorkan sekantung racikan itu pada sang pemuda. Dan ditepis halus.
Ingatan tuanya seperti terpecut, dirogohnya saku bajunya di lapis kedua—tiap bertemu, Kelana selalu menghitung berapa lapis baju yang Mbah Mun kenakan—dan ia temukan sekotak Gudang Garam filter. Ia tahu sebetulnya rokok buatan pabrik tak selamanya pakai mesin.
Tangan dengan ratusan kerut keriput itu menyodorkan lagi. Ah. Kali ini Kelana tak bisa menampik. Disulutnya sebatang Gudang Garam yang menyelip di bibirnya. Bibir yang sama yang pernah berjanji dengan dirinya sendiri untuk tidak lagi merokok sejak jadi delegator Palawija di turnamen panjat se-Yogya.