Setahun sebelum pendakian Merbabu tahun itu. Bahkan jauh sebelum pertemuan dengan Mbah Mun.
Tali sepatunya lepas.
Napasnya menderu tatkala bandana yang membalut rambut gondrongnya basah oleh keringat. Kendati lagu dari iPod Classic-nya masih berdentang di telinganya, ia memilih berhenti berlari membenarkan tali sepatunya sebelum lubang jalan menjebak kakinya.
Ia nyaris tersuruk cedera. Cedera tak akan membuatnya berguna. Malah bisa-bisa ia gagal jadi delegator untuk organisasinya. Itu tidak masuk akal, bukan? Sama tak masuk akalnya seperti ia memaksa panjat tebing tanpa pemanasan.
“Bayangkan, kamu sedang tidur dan terbangun karena ada gempa. Apa tidak pusing? Apa tidak terkejut? Itu yang terjadi pada ototmu kalau kamu memaksa tak pemanasan. Bisa cedera,” oceh Mas Walang suatu hari, sang senior Palawija, yang memiliki kebiasaan berkacak pinggang, menusuk-nusuk ingatannya.
Kelana ingat saat itu ia berbohong pada sang senior, pada dinding tebing gagah, bahwa cedera yang ia dapat adalah sebuah buah dari sikapnya yang pongah. Kakinya kram, bukan sebab tebingnya yang memiliki grade tinggi, Kelana saja yang merasa ia bisa baik-baik saja dan mengabaikan wejangan pria ramping, kering, dan tukang berkacak pinggang itu.
Pagi yang terlalu pagi, jalanan masih perawan oleh lalu lalang para pengepul uang. Halimun belum tertembus, lelaki gondrong itu mempercepat larinya untuk memerah peluh.
Sendirian, tak seperti biasanya.
Rute yang lebih jauh, tak seperti biasanya.
Sebelum pagi ini, ia sering jogging bersama teman-temannya. Kadang di seputaran kampus, kadang di jalanan kota, kadang pula di Mandala Krida.
Sebelum pagi ini, ia tak pernah bangun sepagi ini.
Jalan aspal bolong dan bopeng itu menanjak. Mengulari bukit kecil yang kesepian. Pria gondrong itu memperlambat larinya yang zig-zag menghindari lubang demi lubang. Mengatur napas. Membenarkan earphone yang tengah melantangkan lagu “Misty Morning”-nya Bob Marley berkali-kali. Lagu itu pula yang sering dikumandangkan teman vokalisnya—David Pelo, si cina kebanyakan kecap—ketika manggung kecil-kecilan.
Ada hal yang membangunkannya lebih awal dari biasanya. Berlari lebih awal dari biasanya. Ia tak lagi bisa menutup mata ketika dalam lelap ia seperti bertemu dengan sang kakek yang hilang bersama raibnya kapal puluhan tahun lalu. Baginya, bertemu dengan Mamo adalah momen luar biasa dalam mimpi—yang menurutnya bukan sekadar mimpi.
Dalam dimensi mimpi, Kelana adalah Kelana kecil yang tertidur pulas di pangkuan sang kakek di bawah sebuah pohon ek—atau mungkin pohon trembesi—Kelana tak ingat. Ia merasa seperti berada di sebuah sabana yang luas, tak ada pohon lain selain pohon itu di hamparan rerumputan tak berujung itu. Tapi bukannya tak berujung, dalam mimpi Kelana, padang rumput itu berakhir di sebuah ngarai yang dalam. Sementara di belakang pohon yang menaunginya itu, sederet tebing batu raksasa seolah memagari apa yang seharusnya dipagari. Dalam mimpi, Kelana kecil menyadari satu hal, bahwa seluas apa pun hamparan itu tetap ada batasnya.
Dalam mimpi, pelan, kelopak mata Kelana kecil membuka oleh usapan angin semilir yang juga menyibak lembaran buku cokelat yang ikut tertidur di dadanya. Seperti sedang menanti lama sekali sang cucu membuka matanya, kakek menyambut dengan senyum sabit.
“Ngger, bangunlah.”
Senyum itu berbalas, sama sabitnya. Kelana kecil menegakkan duduknya dengan bersandar di dada sang kakek sembari mengagumi hamparan hijau rumput yang berdansa dengan para pengicau sebelum suara sang kakek kembali terdengar nyaris seperti sebuah bisikan.
“Dan bacalah.”
Sebelum Kelana kecil menemukan kembali buku yang sempat terjatuh saat ia mencoba duduk, terjadi turbulensi di alam bawah sadarnya.
Tubuhnya menyusut dan pemandangannya berubah. Latar hehijauan memudar berganti tempat yang familier. Sebuah langit-langit kamar 3x3 dengan plafon paling ujung koyak dan menghitam oleh lembap air hujan.