Triangulasi

Erna Widi
Chapter #6

Rumah Mamo

Stop! Aku bukan maling!” teriaknya.

Dalam diam dan gelap yang samar, sosok itu urung menyerang sembari menjaga jarak dari Kelana. Hal itu memberi kesempatan pada Kelana untuk mengambil senter yang sempat terjatuh lalu menyorotkan cahaya remang itu pada mukanya yang kini jadi tegang.

“Kelana!” Suara nyaring seorang wanita yang ternyata mengenal dirinya. Lalu Kelana melempar remang cahaya itu ke arah sosok gelap yang sempat kalap menyerangnya.

Bulik!”

“Kukira maling,” ungkap sebuah suara wanita paruh baya yang lalu melempar gagang sapu yang telah patah ke lantai. “Ngapain kamu ke sini segelap ini?” lanjut si bulik sembari melangkah ke arah nakas berlaci lebar lalu membukanya. Diraihnya sebuah senthir lalu dinyalakannya. Kamar kakek terang oleh nyala kuning remang itu.

“Kenapa Bulik ke sini gelap-gelap?”

Bulik menghela napas.

Bulik selalu ke sini di jam yang sama dan di waktu-waktu yang sama, asal kau tahu saja.”

“Tadinya nyari senthir tapi nggak ketemu, Bulik,” jawab Kelana sembari merapikan buku-buku cokelat di dipan yang sempat ia buat berantakan tanpa menghiraukan nyeri pukulan di punggungnya.

Bulik sudah jarang ke sini, capek bolak-balik ngurus dua rumah tiap hari. Jadi, daripada nggak dipakai, Bulik akhirnya memilih untuk berhenti langganan listrik,” timpal bulik yang berambut ikal dengan logat Jawa-nya yang kental.

“Kamu nyari apa gelap-gelap begini?”

 “Ini,” ujar Kelana menjeda sambil garuk-garuk kepala, “tugas kuliah. Nyari referensi di perpus kecil Mamo, Bulik.”

Kelana menata buku-buku di rak klasifikasinya. Ia tak berterus terang rupanya. Mamo adalah panggilan sayang Kelana untuk sang kakek, Atmo Prawira. Orang-orang sering memanggilnya Mbah Atmo. Oleh lidah balita Kelana, Mbah Atmo berubah menjadi Mamo.

“Oh.” Ada nada menggantung dari “oh”-nya bulik Kelana. Seperti ada pertanyaan yang tak jadi dipertanyakan.

Bulik-nya berlalu pergi dari kamar kakeknya, sementara Kelana kembali berkutat dengan setumpuk buku-buku yang usianya lebih tua darinya. Tersisa dua buku cokelat di dipan tua tanpa kasur itu. Kelana membawanya keluar kamar kakeknya ketika lampu senthir yang dinyalakan bulik-nya sudah tak berguna lagi. Nyala redupnya sudah terkalahkan oleh terang pagi.

“Kelana!” panggil Bulik dari arah dapur. Tapi terlalu jauh jika suara itu dari dapur.

“Ya, Bulik.”

“Kamu mau kopi apa teh?”

“Aku mau pulang.”

“Tapi Bulik sudah bikinin kamu teh.” Ternyata ketika Kelana sedang sibuk membereskan buku-buku, bulik-nya sibuk di dapur menyeduh minuman untuk menyambut pagi.

Untuk apa tanya pilihan kalau sudah dipilihkan? Dasar orangtua, batin si gondrong tampan sedikit mengumpat sebal.

“Gimana kuliahmu, Le?” tanya Bulik ketika Kelana sedang mencicipi teh hangatnya di teras belakang rumah joglo yang berwarna cokelat itu. Yang disebut teras belakang sebenarnya adalah teras terbuka dengan akar-akar pohon yang dipahat sedemikian hingga menjadi meja dan kursi yang di tata di atas rumput gajah dengan beberapa tanaman bunga yang meluber dari pot di sekitarnya. Tak ada atap atau dinding. Teras dengan pemandangan pekarangan belakang rumah.

Lihat selengkapnya