“Bunda, Rula binjas dulu ya. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam, hati-hati ya.”
Rula yang mengenakan training hitam, jersey putih lengan panjang dan hijab hitam mengiyakan ucapan sang Ibunda dan mulai melakukan serangkaian pemanasan. Setelah pemanasan, Rula berlari kecil menuju jalan raya seakan sedang menantikan sesuatu. Tepat dua menit berselang, bus berwarna hijau menepi dan menjadi tumpangan Rula subuh ini.
“Maaf Bun, tapi aku usahakan lolos,” batin Rula meminta maaf pada sang ibunda.
Sesampainya di tempat tujuan, banyak remaja yang mengenakan pakaian serupa dengan Rula. Rula menyerahkan nomor pesertanya untuk diganti menjadi nomor punggung dan mendapatkan nomor urut 19 pada kelompok dua. Gadis itu menatap nomor punggungnya dengan perasaan campur aduk, sedih, senang, takut, dan lainnya menjadi satu.
“Ayo, kelompok dua pemanasan sama pelatih yang itu,” ucap seorang anggota kepolisian mengarahkan para casis. Rula dan kelompoknya berdiri menuju lapangan yang telah ditunjuk, mereka melakukan doa dan pemanasan bersama sebelum melaksanakan tes lari 12 menit.
Rula menatap lawan-lawannya dengan teliti, bahkan kelompok satu yang masih melaksanakan tes terlihat begitu sempoyongan. Saat peluit ditiupkan, tidak sedikit casis yang melakukan berbagai trik untuk mendapatkan nilai lebih. Rula melihat itu dan menggelengkan kepalanya, dia tidak percaya dengan trik-trik gila yang dilakukan.
“Ayo, baris di track lari.”
Kelompok dua mulai berbaris di lapangan lari sementara itu panitia berlarian untuk mengambil nomor dada dan melakukan penilaian. Jantung Rula berdebar kencang, pikirannya terlalu berisik pagi ini. PRIIT! Peluit ditiup menjadi pertanda para casis harus berlomba mendapatkan nilai tertinggi. Seluruh casis mulai berlomba-lomba berlari dan menjaga tempo agar bertahan hingga 12 menit.
Tidak ada suara-suara yang bisa didengar selain desahan nafas, detak jantung, dan isi kepala masing-masing. Rula juga merasakan itu, dia terus berlari meskipun hati yang tidak merasa lega. Ditengah-tengah dirinya berlari, kaki kirinya sedikit merasakan nyeri pada bagian anklenya. Tapi Rula tetap memaksakan diri untuk berlari hingga waktu habis.
“Ayo Rula, demi Bunda!” bisiknya dalam hati.
Saat pergantian pos untuk tes samapta b, nyeri di bagian kakinya semakin menjadi-jadi. Terutama ketika dia menuruni meja untuk sit up, kesalahan pendaratan kaki menjadi alasan utama cideranya semakin menjadi-jadi. Rula terus menahan rasa sakitnya dengan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.