Sepasang Mata Kebau
Ibuku ini orang baik. Makanya hidupnya selalu susah. Tapi ada pula orang susah yang tak berperilaku serta berpikir baik. Malahan mereka sebenarnya cukup pintar. Ada pula yang tak punya apa-apa dan benar-benar miskin, dia semakin susah hidupnya dan suka mengganggu pula. Ada pula orang baik tapi tak pernah susah hidupnya. Karena setiap saat selalu berpikir positif. Tapi ada pula bukan orang baik, memaksakan untuk baik tapi sebenarnya masih susah. Susah pikiran, susah keinginan, susah karena dibikin susah sendiri. Padahal, seharusnya tidak susah.
Pagi itu seperti biasa, kami sedang sibuk-sibuknya menata dagangan disebuah pasar. Kepulan asap dari uap air yang mendidih, bau kulit bawang, ikan teri, serta buah yang hampir busuk selalu menjadi hal pertama yang rutin kami rasakan. Namanya juga pasar tradisional, di mana pun tempatnya pasti seperti itu.
"Untuk apa mata kerbau kau kumpulkan? Itu sudah jadi bangkai. Buang saja, daripada jadi sumber penyakit. Sumber mala petaka," kata ibuku.
Kami sekeluarga memang mengandalkan hidup dari napas sebuah pasar di Kota Yogyakarta. Ibu dan aku menjual daging ayam. Bapak kami sudah lama pensiun. Dia pemalas, padahal tenaganya masih cukup kuat. Pernah ku kasih ia hadiah sepeda motor menjelang purna tugasnya sebagai Aselon. Sayangnya, itu tak dimanfaatkan betul olehnya. Dia lebih memilih duduk-duduk di teras rumah setiap paginya, menikmati kopi dan rokok dari uang pensiunnya. Seharusnya waktu yang panjang itu bisa digunakan untuk bekerja. Bantu-bantu kami di pasar sembari bekerja sebagai tukang ojek misalnya. Bukankah itu lumayan?
Sementara ibu, dia perempuan yang hebat. Mungkin sama seperti ibu kebanyakan. Selalu hebat, tangkas dan baik hati. Pekerja keras pula. Ia lulusan perguruan tinggi besar di kota ini. Gelarnya sebagai sarjana guru. Sayang sekali, ilmu perguruannya itu muspro. Ia tak dibolehkan bekerja sejak rumah tangganya baru berjalan dua bulan. Ijazahnya pun berjamur ditumpukan lemari keluarga kami. Sekarang ibu justru menjadi tulang punggung di keluarga kecil kami.
"Akan aku buat sebagai mainan, lagi pula orang-orang jarang yang mau dengan mata kerbau,"kataku.
"Aneh-aneh saja kau ini. Ibu harus pulang, ayahmu butuh makan,"
"Pemalas dan manja sepertinya untuk apa dilayani bu,"
"Hus, dia ayahmu," aku benar-benar kesal melihat aktivitasnya setiap pagi. Benar-benar tak termaafkan. Cengengesan membahas soal dunia politik dan jabatan. Apa tidak ada hal menarik di dunia ini selain politik dan jabatan?
Beruntung sekali, perempuan yang menemaninya begitu sabar dan baik hati. Meski aku tak tahu, semua putri berdarah biru pasti selalu punya sisi yang menyeramkan. Tapi sejauh ini ibuku begitu sabar melayani pemalas ini. Ah, biarlah. Biar aku puaskan memaki-maki ayahku sendiri.
"Ada mata kerbau yang tak terpakai? Boleh kalau ku ambil?" tanyaku pada salah seorang penjual daging kerbau. Aku berharap membawa pulang mata kerbau ini.
"Untuk apa, daging yang lain kan banyak. Aneh-aneh saja kau ini pesan mata kerbau,"
"Sudah, bukan urusanmu kang. Aku pesan sepasang kalau ada," dia ini namanya kang Santo. Ia masih muda, tapi sukses karena berjualan daging kerbau. Mobilnya dua, satu sedan tahun 70an, satunya lagi keluaran Jerman. Semua mobilnya masih mengkilat dan terawat. Aku di suruh menunggu sepasang mata kerbau itu esok hari. Karena daging di hari ini laris manis tanjung kimpul. Lagi pula, kang Santo juga harus memesan terlebih dulu ke tukang jagal.
Esok harinya aku datang lebih awal. Setelah menata dagangan bersama ibuku, aku pun langsung menuju lapak kang Santo. Pesananku sudah tersedia. “Dibalik baskom warna hijau itu. kamu buka saja,” serunya. Oh ini dia, dua pasang mata kerbau sudah ku dapat. Tinggal membungkusnya rapat-rapat. Lalu ku kirim ke seluruh ayah di dunia. Kiriman pertama akan ku antar ke Afrika. Ah, Afrika udaranya tentu sangat panas. Harus ku siapkan betul, penutup yang pas untuk membungkus sepasang mata kerbau ini.
Pagi-pagi aku bergegas menuju ke kantor pos. Di sana tak mau terima paket keluar negeri dariku. Alasannya, isi paket yang akan ku kirim adalah sepasang mata kerbau. Sementara, jarak pengiriman hampir satu pecan atau bahkan bisa berbulan-bulan. Kata petugasnya sepasang mata ini bisa saja bermasalah. Busuk lalu jadi sumber penyakit. Baiklah, tak mengapa. Barangkali ada jasa pengiriman lain yang bisa aku titipkan.
Seharian aku berputar-putar keliling kota. Ibu kubiarkan bekerja sendiri di pasar. Biar, biar satu hari ini saja. Sepasang mata kerbau ini masih saja tetap segar, meski udara dan terik matahari di kota siang ini begitu menyengat dan membikin perih di mata. Ku letakkan sepasang mata kerbau itu di toples. Ku tutup rapat, dan kubiarkan aman di dalam tas. Mulai ketemukan jasa pengiriman paket keluar negeri.
"Anda gila, siapa yang mau menerima sepasang mata kerbau yang hampir busuk seperti ini?" Kata petugasnya. Sungguh sangat tidak sopan. Gerutuku waktu itu.
"Akan ku bayar berapa pun kau mau," kataku mencoba merayu.
"Satu miliar pun kami tak bisa membawa mata busuk ini dipaket kami. Kami takut pelanggan setia kantor ini tertanggu, silakan ke yang lain saja," katanya menolak.
Baiklah, aku tetap berbesar hati. Masih banyak jasa pengiriman lain yang bisa menerima sepasang mata kerbau ini. Apa perlu aku berkirim surat ke seluruh ayah di dunia. Supaya rela bersabar menanti sepasang mata kerbau ini.
"Hei bocah, tunggu dulu. Tujuanmu berkirim sepasang mata kerbau itu untuk siapa?" Tanya petugas ketika aku hendak menggeser pintu masuk kantor pengiriman.
"Untuk para ayah diseluruh dunia,"
"Aku juga seorang ayah, kasihkanlah mata kerbau itu padaku. Biar ku buang ke tempat sampah," dia meledek. Mulutnya yang tidak sopan bikin tanganku mengepal. Tapi aku orang baik yang tidak seharusnya membenci siapa pun. Begitu kata ibuku sejak dulu. Ku biarkan mulut lebarnya menertawakanku, saat jemariku menggeser pintu kantor pengiriman. Seisi kantor di sana benar-benar menertawakanku siang itu. Mungkin mereka menganggap aku ini gila.
Mulai ku kayuh kembali sepeda tua warisan almarhum simbah. Biarpun berkarat, jalannya tetap masih mulus dan gesit. Meski kadang berisik, gerigi rantainya masih bagus. Ku telusuri satu persatu sudut kota. Sejauh mata memandang hanya berharap ada tulisan terima paket keluar negeri. Ah, itu dia. Aku melihatnya, di dekat stasiun. Kantornya cukup besar, tentu aku berharap mereka profesional.
Mulai ku dorong pintu masuk kantor pengiriman itu. Sejuk dan wangi, penjaganya juga ramah. Aku diambilkan nomor antrean oleh petugas keamanan. Dia tinggi besar, rambutnya kelimis dan rapi. Harum pula. Benar-benar profesional. Pegawai di sana saling tegur sapa, senang melihatnya. Aku mendapat antrean 35. Sekarang pukul dua siang. Satu jam lagi kantor ini akan tutup. Antrean 33 sudah maju ke depan. Itu artinya satu antrean lagi akan dipanggil dan nomorku setelahnya pasti dipanggil.
Cepat sekali pelayanan di sana. Aku menunggu giliran dengan tenang. Betapa senangnya aku, sebentar lagi para ayah yang hebat di dunia akan mendapat kiriman sepasang mata kerbau dariku.
"Antrean nomor 35," teriak perempuan di depan meja pelayanan. Itu nomorku. Aha, aku beranjak dari bangku antrean. Kulihat beberapa poster peringatan barang-barang yang tak boleh dikirim mulai dari senjata tajam, hewan peliharaan, uang tunai, dan tanaman dilindungi tidak boleh dipaketkan. Ah, tentu sepasang mata kerbau ini bisa untuk dikirim lewat kantor ini.
"Mau kirim ke mana mas?"
"Afrika," jawabku yakin dan gembira.