Tristan da Cunha

Masrojah
Chapter #2

Surat Untuk Tuan Martinez

Surat Untuk Tuan martinez

Aku tahu menunggu adalah pekerjaan yang paling menyebalkan. Apalagi menunggu api untuk segera padam. Bukankah kecewanya akan berlipat-lipat? Demi Tuhan, tak akan aku biarkan penantian tuan martinez menjadi sia-sia, seperti halnya anak kecil yang menunggu api padam pada sebatang kayu. Betul apinya akan padam, namun kayunya jelas menjadi abu. Bukankah itu sangat menyakitkan. 

Ku harap, udara Tristan pagi ini bisa membuatmu bersemangat, paman. Meski aku tahu, kau sangat membenci Bonny keponakanmu satu-satunya. Tentu pukul enam ia baru bangun dari tempat tidurnya. Dan kau adalah orang yang sangat teratur ketika pagi hari. Kau selalu saja marah ketika Bonny terbangun hingga melebihi pukul enam.

Sengaja ku sapa kau dengan ucapan selamat pagi. Meski aku tak tahu, surat ini akan sampai ke depan pintu rumahmu bisa pagi, siang, atau bahkan malam hari. Aku ingin sedikit menjelaskan tentang sikap bodo amat padamu. Kehidupan di pasar membuatku harus bijaksana, meski seusiaku saat ini belum saatnya. Aku mulai pertanyaan itu, kira-kira jika kau rasakan lapar yang hebat, kemudian memilih mencuri unggas tetanggamu, maka itu artinya kau tak mampu bersikap bodo amat untuk dirimu sendiri. Cukup singkat bukan? Atau begini juga boleh, kalau aku tetap paksakan rasa laparku ini untuk ku puaskan dengan beberapa kacang atau setumpuk nasi, maka otakku akan berpikir bagaimana mencari jalan untuk mendapatkannya. Tentu saja, lambungku akan meminta hal lain setelah itu, tuan martinez. Bisa es teh manis dan dua batang rokok mungkin. Atau, kemungkinan paling buruk aku akan mencuri buah durian kesukaanku dari paman petani.

Semoga surat kecilku ini mampu memberikan gambaran, betapa aku ini orang yang tanpa beban. Dan tak akan kubiarkan tubuhku membujur kaku dengan dipenuhi hutang-hutangku pada dunia. Rasa penasaranku terhadap segala hal hanyalah tipuan, karena aku yang tak sanggup lebih cepat dari waktu. Karena ada tuhan Yesus yang lebih tahu segalanya, dan aku juga sedang berpikir. Betapa repotnya tuhanku ini, memikirkan jutaan makhluk, menjamin hidupnya, termasuk persoalan-persoalan makhluknya masih pula ia pikirkan. Itu semua gratis. Bayangkan jika itu psikolog atau dokter spesialis. Oleh karenanya, kuharap kau tetaplah bersabar menungguku datang mengetuk pintu rumahmu, paman.

Salam hangat dariku, Imran. 

Yogyakarta, 1 Mei.

Surat ini ku tulis malam hari. Ketika rembulan di langit kampungku tinggal separuh. Subuh nanti aku akan memulai perjalan itu paman. Perjalan yang bagi sebagian orang adalah ide gila. Memangnya apa yang tidak gila di dunia ini, paman? Semua harus menjadi gila untuk merespon kegilaan para penghamba dunia. Sepedaku sudah siap, mentereng, mirip tukang pos di era simbah. Ah, simbah. Kau pasti tak tahu apa itu simbah. Grand Father, yah. Grand Father, tentu bangsamu menyebutnya itu paman. 

Dini hari nanti aku sudah harus memualinya. Kusiapkan bekal seadanya. Tak cukup banyak karena kerangka sepedaku sudah berumur. Hanya satu tas ransel berisi sarung, tempat air dan juga keperluan darurat lain. Batu giok dan secarik doa wejangan dari simbah aku selipkan. Jangan salah, kami orang desa selalu percaya amalan-amalan doa demikian. 

Ku intip dari teras rumah, kedua orang tuaku masih juga belum terlelap. Sulit rasanya jika harus meninggalkan ibu seorang diri. Mengurus ayam-ayam potong, angkat-angkat air kotor, menawarkan ceker ayam ke penjual pangsit, dan masih harus mencucikan pakaian suaminya. Tapi, sepasang mata kerbau ini juga sangat dibutuhkan oleh keluarga di Tristan sana. Tuan martinez tentu sudah menunggu kedatanganku.

Tristan sangatlah jauh, aku harus benar-benar bersiap untuk memulai perjalanan ini. Sekali lagi ku tengok kedua orang tuaku di dalam. Mata mereka sudah mulai merayap mencari-cari sandaran untuk meminta tidur. Tetiba air mataku berlinang, ku ambil potongan bambu yang aku gunakan untuk mengisi air diperjalanan nanti. Air mataku tertampung ke dalam bambu. Sampai kapan pun tak akan ku buka, tuan Martinez. Biar ini ku jadikan cawan air mata sepanjang perjalan nanti. Oh, ya. Aku tak boleh melewatkan. Satu kotak kardus kecil bekas tempat sepatu ku siapkan. Berkelumit doa ku taruh di dalamnya. Banyak sekali doa-doa ku panjatkan untuk kita semua tuan, Martinez. Untuk ibuku tercinta, kawanku Amir, kedua saudaraku, dan kau sekalian tuan, Martinez. Kau sekeluarga harus tetap sehat sesampainya aku datang. Bila perlu kita minta bersama-sama satu nyawa tambahan kepada tuhan, untuk kita masing-masing.

Doa-doa ini ku bentang, ku bersihkan dari debu dan kotoran. Setelah itu ku lipat dengan rapi, kemudian ku masukkan ke dalam kardus bekas tempat sepatu, tuan Martinez. Ah, ini tentu akan terasa berat diperjalan. Dan bukan main, jantungku mulai bedegub kencang. Pantas saja tuhan tak izinkan aku tuk kirim sepasang mata kerbau melalui jasa pengiriman paket. Tuhan telah susun rencana kita sekalian sejak di langit, sebelum semuanya dihempaskan ke kita, tuan. Setelah doa-doa ini ku masukkan ke kardus bekas, ku tutup rapat-rapat semua sudut kardus. Namanya saja doa, tentu harus intim bukan. 

Lihat selengkapnya