Tristan da Cunha

Masrojah
Chapter #3

Jawaban Tuan Martinez

Jawaban Tuan Martinez

Imran, kau begitu lincah. Persis ketika kita berjumpa di laut selatan kala itu. Di otakku masih penuh dengan suara desiran ombak pantai selatan Yogyakarta. Aku sungguh heran, mengapa jasa pelayanan antar barang di kotamu semuanya menolak untuk mengirim sepasang mata kerbau yang akan kau kasihkan ke keluargaku. Kasihan kau, adik. Harus susah payah mengayuh sepeda seorang diri, Tristan dan Yogyakarta sangat jauh. Harusnya kau tak usah berkorban untuk keluarga kami. 

Aku sangat tekejut ketika kau mengabarkan jika bekalmu hanyalah satu kotak berisi lipatan doa dan juga satu cawan air mata. Kau sungguh aneh, Imran. Bagaimana bisa kau hidup dalam perjalanan hanya dengan perbekalan semacam itu. Lain kali kau harus ceritakan lipatan-lipatan doa yang kau simpan di dalam kotak bekas tempat sepatu itu. Kabarnya kau telah berbuat onar dari doa-doa yang kau lipat itu. Kau memang selalu saja begitu, Imran. Sesampainya di sini, kau akan ku kenalkan dengan Emanuel. Dia pasti suka denganmu. lagi pula ia semuruan denganmu, tentu kalian sangat cocok, itu pasti. Emanuel boneka satu-satunya peninggalan almarhum nenek. Ia juga sudah menemaniku selama 56 tahun, termasuk ketika aku hidup di Jakarta dan berpindah ke Jogja beberapa tahun silam, ia selalu aku bawa. Sesampainya di sini nanti, kau harus berkenalan dengannya. Jika kalian sama-sama tertarik, bawalah ia ke kampungmu.

Aku juga ingin mengetahui lebih dalam mengenai doa-doa yang kau lipat dan kau masukkan ke dalam kardus bekas tempat sepatu. Aku ini memang jarang sekali berdoa, tapi aku paksakan setiap helai dari napasku ini adalah doa. Sembahyang pun aku tak pernah, karena seumur hidup aku paksakan ruhku ini untuk terus sembahyang. Kecuali ketika hujan mulao turun, dan adakah lebih sedap dari bau tanah yang terguyur air hujan. Ketika bau itu sudah menyongsong ke rongha hidung, semua aktivitas akan ku akhiri. Puluhan tahun aku cari ramuan untuk meracik aroma bau tanah yang khas saat diguyur hujan namun selalu gagal.

Sama halnya dengan sesuatu yang selama ini aku inginkan. Mungkin betul, hidup adalah tentang yang tak diinginkan. Berpuluh tahun lamanya aku mengharapkan kasih sayang, cinta dari ikan lumba-lumba. Dia begitu memesona, aku sangat terpikat. Doa, usaha, hingga hati sudah ku tata betul-betul. Semakin hari, aku terus merasakan luka perih itu. Sejak itu aku jadi malas berdoa. 

Biar ku tantang semesta, jika kedipan, sentuhan, embusan napas, dan tidurku ini aku paksakan itu semua supaya menjadi sebuah doa. Mulai ku suruh jemari untuk berdoa sendiri, napas ku suruh ia berdoa sendiri, mata ku paksa ia untuk berdoa sendiri, kaki ku suruh ia berdoa sendiri dan hati ku biarkan ia mencari kebenarannya sendiri. Mencari ketenanganannya sendiri. Karena aku sudah semakin takut jika harus menginginkan sesuatu. 

Jangankan mengucap, memikirkan keinginan saja aku benar-benar takut. Dia lumba-lumba yang sangat cerdas, setiap sorenya ia selalu berenang-renang membuntuti kapal kami. Ia yang menunjukkan jalan bagi kami ketika selesai melaut. Sayang, tuhan tak mengizinkan kami untuk kenal lebih lama. Mati, Imran. Mati diburu oleh nelayan luar Tristan. Semenjak itu aku kian benci dengan sebuah keinginan. Dan biarkan saja tubuh ini berdoa sendiri-sendiri.

Aku juga pernah mendambakan keledai. Pikirku, dengan ku rawat sejak kecil, kelak jikalau ia telah tangguh, keledai itu akan menjadi sahabat yang menyenangkan. Uang mulai ku kumpulkan, kerja keras setiap hari ku tunaikan. Aku rela berdandan ala pejantan yang tangguh, memakai pakaian terkini, topi koboi pilihan dan rompi beludru yang mahal. Begitu ingin ku tebus dan ku bawa pulang, keledai itu telah diberi mahar terlebih dahulu oleh seseorang. Tak terurus, Imran. Ia makin kurus dan kotor serta bau. Betapa tuhan selalu main-main dengan kehidupan. Dan aku pun kembali dibuat main-main olehnya. Tentang perasaan. Kau tentu sama seperti ku bukan, Imran? Punya perasaan, kau tak tahu bukan. Jika aku hampir saja menjadi seorang waria. Ini aku alami ketika aku seumuran denganmu dan aku masih tinggal di Jakarta.

Begini ceritanya, kepakan sayap ayam jantan dan suara tikus berlarian di langit-langit gubug sederhana kami, itu menjadi pertanda sebentar lagi bakal masuk pagi. Tikus-tikus yang saling kejar itu pasti baru saja pulang dari perburuan satu malam tadi. Kakinya yang mungil beradu cepat dengan rasa kantuknya, itu sudah barang pasti. Aku tak tahu apa tikus juga butuh tidur berhari-hari. Atau barangkali hanya menghabiskan waktu siangnya untuk menunggu mati.

Suara kaki-kaki kecil binatang pengendus itu benar-benar berisik mendesak ke rongga telinga. Suara itu pelan-pelan mengorek lumpur di lubang telinga. Lalu aku merasakan ada kabel di tempurung kepala, kepakan sayap itu juga terasa pelan merambat sampai ke saraf mata. Dingin bercampur ngilu, ada yang berjalan menggelitik lewat kabel-kabel dalam tempurung kepala. Gelap setengah remang-remang, banyak bintik-bintik berkilauan dan bertaburan memenuhi tempurung kepala. Kabel-kabel di tempurung kepala itu terus menggelitik, semakin mendekat dan mata pun kemudian terbuka. Sungguh ajaib.

"Sudah jam berapa ini. Koran-koranmu tak kau urusi," sambil menahan rasa kantuk yang berat, kedua mata aku paksakan untuk berkedip. Cahaya remang menyambutnya. Bau minyak di penggorengan menyongsong lubang hidung. Ah, sedap sekali. Meski aku tahu menu pagi ini pasti ikan asin dan garam. Sama seperti hari sebelumnya. 

"Bangun. Salat subuh sudah mau habis," kata ibuku kala itu, seraya menepuk pinggulku yang masih gelesotan malas, mirip bantal guling yang bernapas di atas tikar.

"Bangun, pemalas. Jangan seperti pamanmu. Malas kerja, salat pun tak pernah,"aku tetap saja membandel sembari sesekali membetulkan peci hitam dan tumpukan baju yang ku gunakan sebagai bantal. Maklum, rumah kami hanya berupa gedek bambu. Luasnya kira-kira cukup untuk dua mayat perempuan dan laki-laki. Pintunya dari kayu lempeng sisa. Supaya pintu itu terlihat rapi, ya kami lapisi kardus. Jadi, aneh saja rasanya jika ada kasur pegas di dalam rumah seperti ini.

Sampai pukul enam pagi ibu menyerah untuk membangunkanku. Suara kepakan sayap dan kaki kecil para tikus sudah tak lagi usil di telinga. Koran hari ini tak kuijinkan dibaca oleh siapa pun. Aku yang bertanggung jawab atas semuanya. 

"Libur kau hari ini?"tanya ibu.

Lihat selengkapnya