Joana berjalan riang membuka pintu gerbang rumahnya. Sekarang sudah pukul empat sore dan ia baru pulang. Tentu saja ayahnya tidak tahu kalau hari ini ia membolos sekolah lagi sekaligus melakukan perbuatan kriminal.
Dengan santai dan tanpa merasa bersalah, Joana melenggang menyusuri halaman rumah sambil bersiul pelan. Pakaiannya telah diganti dengan seragam sekolah lengkap agar ayahnya tidak curiga.
Tiba-tiba langkah Joana terhenti ketika sudut matanya tak sengaja melihat sebuah mobil Hatchback berwarna putih terparkir manis di halaman. Well, entah mengapa Joana merasa mengenali mobil itu. Firasat tidak enak pun menghinggapi hatinya. Mobil siapa, ya? Kayak nggak asing?
Otaknya lantas berpikir cepat, berusaha mengingat siapa pemiliknya. Tetapi, setelah beberapa detik, ia menyerah karena otak bebalnya tak bisa diajak bekerja sama. Gadis itu pun menggelengkan kepala acuh, lalu berjalan menuju rumah.
Namun, langkahnya kembali terhenti saat kakinya baru saja menjejak ke teras, ia mendengar suara ayahnya mengobrol dengan seseorang di ruang tamu.
Kedua alis Joana bertautan. Alih-alih masuk ke rumah, ia malah berjalan ke jendela ruang tamu dengan mengendap-endap. Insting tajamnya memerintah untuk mencari tahu siapa orang yang mengobrol bersama ayahnya di sana.
Pelan-pelan, Joana menempelkan kepalanya ke kaca jendela dan mengintip ke dalam. Ia terkejut bukan main begitu melihat siapa tamu yang sedang mengobrol dengan ayahnya tersebut. Itu cowok yang pagi tadi ditipu oleh Joana dan teman-temannya!
Masih tidak percaya, Joana memicingkan mata, semakin mempertajam penglihatannya. Ya, benar! Itu memang cowok tadi pagi. Joana masih ingat wajahnya dengan jelas dan baru ngeh kalau mobil putih barusan adalah milik cowok naas itu.
Arrrgghhh!
Joana mulai menggigiti kuku-kuku jarinya—kebiasaan dikala gugup atau cemas—bertanya-tanya kenapa cowok itu bisa ada di rumahnya saat ini. Mereka terlihat mengobrol akrab sekali dan otomatis membuatnya merasa bingung, penasaran dan juga takut.
Jangan-jangan tuh cowok polisi atau intel yang lagi menyamar?
Atau ....
Jangan-jangan orang yang kenal sengaja ingin menjebaknya?
Atau ....
Jangan-jangan orang suruhan ayahnya yang diam-diam memata-matainnya?
Joana menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. Begitu banyak kata jangan-jangan yang menghantui pikirannya dan membuat gadis itu semakin merasa ketakutan. Perutnya tiba-tiba melilit, seolah ada ular raksasa yang sedang membelit ususnya. Bayangan akan tidur dalam sel membuat Joana merinding setengah mati.
"Oh my goodness! Gue harus gimana?" keluhnya dengan perasaan kalut sementara kuku jarinya semakin rusak digigiti sejak tadi.
Tak sengaja, kaki Joana menyenggol salah satu pot bunga yang tersusun di dekat tempatnya berdiri. Pot itu pecah, menimbulkan bunyi pecahan lumayan keras, hingga membuat ayahnya serta sih cowok sial itu mendengar.
Joana pun ikut terlonjak kaget mendengar suara pecahan tersebut. Ia baru saja mengambil ancang-ancang untuk kabur, tetapi tertahan karena ayahnya dan Lefrand sudah menuju ke tempatnya. Dengan panik, Joana buru-buru menggerai rambut panjangnya agar menutupi wajah, lalu berjongkok. Tangannya bergerak memunguti pecahan-pecahan pot itu dengan gugup. Ia berharap Lefrand tidak bisa mengenalinya.
"Joana? Kenapa kamu ada di situ? Kenapa nggak masuk ke dalam? Itu pot bunga kamu yang mecahin?" Haris terlihat kaget saat melihat putri semata wayangnya sedang berjongkok di pinggir rumah memunguti pecahan pot di tanah.