Rumah Flora terletak beberapa blok dari kompleks perumahan Joana. Lefrand segera melompat turun dari mobil. Tangannya sibuk mengetik pesan, mengabarkan bahwa ia telah sampai di depan. Joana sendiri memilih duduk diam di dalam mobil sambil bersedekap. Terlalu malas untuk ikut keluar.
Gadis itu mengedarkan pandang memandangi bangunan rumah Flora yang cukup megah, bergaya minimalis modern serta halaman berumput yang luas serta pagar besi menjulang.
Joana kadang merasa hidup ini tidak adil. Well, siapa yang tidak iri pada Flora. Selain memiliki paras super cantik, cewek itu juga terlahir dari keluarga tajir. Sejauh yang Joana ingat, orang tua Flora adalah pengusaha sukses di bidang properti. Mereka juga aktif dalam kegiatan sosial dan membuka panti asuhan untuk anak-anak terlantar. Belum lagi, Flora yang termasuk cewek pintar di lingkungan sekolah, selalu masuk dalam peringkat tiga besar. Berbanding terbalik dengan Joana sendiri.
Ya, kadang-kadang hidup memang seironis itu. Jadi, wajar saja kalau Flora termasuk gadis yang terlahir dengan penuh keberkahan dan selalu menjadi idaman.
Setelah tiga menit menunggu, seorang satpam muncul dari balik gerbang, mengatakan bahwa Flora sudah pergi bersama Rakha sejak lima menit lalu. Lefrand mendesah kecewa dan kembali berjalan menuju mobilnya.
"Kenapa?" tanya Joana saat Lefrand masuk ke dalam dan memasang wajah lesu.
"Flora udah pergi," sahutnya.
Joana melengos. "Lah? Kok bisa? Bukannya dia ngajak pergi bareng?"
Lefrand hanya mengendikkan bahu.
Joana menggeleng-geleng seraya berdecak. "Lo payah banget. Segitunya bucin sama Flora."
"Bucin apaan? Sembarangan!" protes Lefrand tak terima.
Joana tertawa. Tiba-tiba merasa lucu dengan nasib apes yang menimpa cowok di sebelahnya itu.
Ponsel Lefrand bergetar. Ada panggilan masuk dari Flora. Cepat-cepat Lefrand mengangkat panggilan tersebut.
"Ya, Flo? Kamu dimana? Aku udah sampe depan rumah kamu, tapi katanya kamu udah pergi ...."
"Sori, tadi aku keburu berangkat, Frand. Aku nggak bermaksud untuk ninggalin kamu. Maaf banget, ya ...."
"It's okay! Kamu pergi sama Rakha?" tanya Lefrand.
"Iya. Aku pergi sama dia. Oh ya, kamu langsung aja nyusul ke rumah sakit. Nanti aku kirim alamatnya ke hape kamu."
Lefrand menghela napas dan menyahut pelan. "Oke ...."
Lalu, telepon terputus. Ditatap layar ponselnya dengan nanar. Rasanya ia sudah kalah sebelum berjuang.
Joana memperhatikan sambil mencibir. "Terus? Si Flora beneran udah pergi?"
"Iya. Sama sih bedebah kutilang itu," sahut Lefrand, menggeram kesal.
"Bedebah kutilang?" Joana mengerutkan alisnya tak mengerti. "Siapa?"
"Si Rakha lah!"
Sontak tawa keras tersembur lagi dari mulut Joana. Matanya sampai berair karena terbahak-bahak terlalu keras. Dengan kesal, Lefrand menoyor kepalanya.
"Diem kek! Orang lagi kesel juga!"
Joana tak mengubrisnya, malah semakin cekikikan geli. "Dasar bucin payah!" ejeknya yang membuat cowok itu menyeringai. "Jadi gimana? Lo mau ke rumah sakit apa nggak? Kalo nggak jadi, gue mau main sama temen-temen gue."
Lefrand mengembuskan napas kasar. Jari-jemarinya mengetuk-ngetuk stir kemudi dengan gelisah. Tatapannya lurus ke depan seolah berkonsentrasi memikirkan sesuatu. Ia tak memungkiri rasa kesal memenuhi dadanya saat ini. Padahal ia sudah tak sabar ingin bertemu Flora. Namun, karena makhluk bernama Rakha itu semuanya jadi kacau.
"Emang lo mau main kemana sih?" tanya Lefrand sejurus kemudian dengan ekspresi ingin tahu.
Joana memilin-milin ekor kudanya sambil mengerucutkan bibir. "Nge-mall dong. Karaokean, jalan-jalan cuci mata."
"Kalian bisa nge-mall dan jalan-jalan, tapi bayar hutang ke gue nggak bisa," tukas Lefrand yang membuat Joana mengalihkan pandang lantaran merasa tertohok.