Troublemaker in Love

Poetry Alexandria
Chapter #18

KAM to the PRET!

Joana menggigit roti selainya dengan tak bersemangat. Bibirnya cemberut sementara raut wajahnya tampak murung. Ia sedang mencoba merayu Ayahnya untuk dibelikan motor dari semalam, tetapi masih belum berhasil.

Sebenarnya dulu Joana pernah memiliki kendaraan beroda dua itu saat baru masuk SMA, tetapi gadis itu tidak menggunakannya dengan baik. Setiap hari ia keluyuran, bolos sekolah dan jarang di rumah. Nilai-nilai sekolahnya pun jeblok gara-gara lebih sering bermain-main di luar. Jadi ayahnya yang kesal menjual motor tersebut sebagai bentuk hukuman kepada Joana.

"Beliin Joana motor dong, Yah. Temen-temen Joana udah pada punya kendaraan sendiri. Meitha, Dio sama Lefrand aja punya mobil. Masa Joana doang yang nggak punya kendaraan," rengek Joana dengan tampang memelas.

Haris yang duduk di hadapannya diam saja, pura-pura tak mendengarkan.

Mereka sedang sarapan bersama. Hari ini hari senin, hari yang sangat dibenci Joana. Kalau saja ayahnya belum pulang dari pulau Bangka, pasti dia sudah memilih untuk bolos sekolah, tidur atau nonton tv di rumah. Gadis itu paling malas ikutan upacara bendera di hari senin. Sejak tadi ia berharap Tuhan bermurah hati agar menurunkan hujan, tetapi harapannya tak kunjung terkabul. Belum lagi Meitha barusan mengabarkan padanya kalau tidak bisa menjemput untuk pergi sekolah bareng karena cewek itu ingin pergi bersama Dio. Jadi terpaksa ia akan naik angkot lagi atau nebeng di mobil Lefrand dan berakhir dengan menjadi kacungnya. Memikirkan hal itu membuat Joana bertambah bete.

"Ayah dengerin Joana nggak sih?" keluh Joana kesal.

Haris meletakan korannya ke atas meja dan menghela napas. Saat itu Lefrand datang bergabung bersama mereka untuk ikut sarapan. Cowok itu sudah rapi mengenakan seragam, bersiap untuk ke sekolah.

"Pagi, Om!" sapa Lefrand sambil mengambil sepotong roti di hadapannya dan mengoleskan selai. Ekor matanya melirik ke arah Joana dan seketika ia mengernyit memandang Joana yang sedang bermuram durja. Namun, ia memilih tak berkata apa-apa.

Haris tersenyum pada Lefrand, lalu menatap anak gadisnya yang terlihat semakin murung. "Kenapa kamu tiba-tiba minta motor? Lagian dulu 'kan kamu sudah ayah belikan, terus salah siapa sekarang motornya dijual?"

Joana mengangkat wajahnya dengan lesu. "Joana janji deh kalo punya motor nggak kayak dulu lagi. Joana pasti lebih rajin belajar. Nggak bakal bikin masalah lagi. Beneran!"

Lefrand yang duduk di sebelah Joana terlihat memutar bola mata. Bullshit banget!

"Kalo nggak ada motor, Joana susah mau kemana-mana. Masa tiap pagi nebeng mulu sama Meitha? Kalo nggak pergi sama dia, Joana kudu naek angkot. Panas-panasan, kena debu. Nanti kulit Joana bisa burik, Yah. Buluk!" Gadis itu semakin cemberut.

Lefrand mendengkus. Tawanya nyaris tersembur.

"Burik bagaimana? Ada-ada saja kamu ini," sergah Haris sambil geleng-geleng kepala. Melihat raut wajah Joana yang tampak begitu frustasi, membuatnya tersentuh juga. Walau bagaimanapun, Joana adalah putri semata wayangnya, dan Haris pun sangat menyayanginya. Mungkin memang gadis itu bengal dan menyebalkan, tetapi hanya membelikan sepeda motor rasanya tak terlalu berlebihan.

"Baiklah, Ayah akan belikan kamu sepeda motor," kata Haris sambil menghela napas.

Joana sontak membelalakkan mata antusias. Ekpsresinya berubah cerah. "Serius?"

"Iya." Haris mengangguk. Namun, sebelum Joana sempat bersorak gembira, ia buru-buru menambahkan, "Tapi ... dengan satu syarat ...."

Kedua bahu Joana seketika melorot. Bibirnya pun manyun lagi. Kenapa harus pake syarat-syarat segala sih? Ah, elah....

"Syarat apa?" tanya Joana lesu. Tiba-tiba saja firasat tidak enak merayapi hatinya.

"Kamu harus janji dapat nilai bagus dalam ulangan matematikamu."

"Hah?" Joana tercengang.

Dia nggak salah dengar 'kan? Itu syarat yang susah. Matematika adalah mata pelajaran paling dibencinya. Bagaimana mungkin ia bakal memenuhi janji itu?

Lihat selengkapnya