“Ini buat Kakak.”
Lengan kecil itu terulur. Ada sebuah boneka kain perca yang lusuh di tangannya. Boneka itu kehilangan sebelah matanya yang terbuat dari kancing berwarna hitam dan ada robekan di sisi kanan kain perca yang menjadi bajunya.
Chelsa mengambil boneka itu dan meraih tubuh kecil pemberinya sekalian. Harum minyak kayu putih dan bedak bayi membuat mata Chelsa berkaca-kaca. Ia tidak ingin menangis, tetapi matanya terasa panas.
“Kalau Kakak sudah banyak uang, akan Kakak belikan boneka yang bagus untuk Wina, ya,” bisik Chelsa di telinga Wina—anak terkecil di panti asuhan Kasih Mentari, pemilik boneka perca itu.
“Chelsa,” sebuah teguran lembut membuat Chelsa buru-buru menghapus air mata. Ia melepaskan pelukannya pada Wina dan berusaha mengurai senyum di wajahnya yang pucat.
“Ibu.”
“Nak, jangan memikirkan kami di sini, ya,” Ambar mengelus bahu Chelsa. “Kami akan baik-baik saja. Satu hal yang harus kamu ingat, Chelsa. Kapan saja kamu ingin kembali, pintu rumah kita selalu terbuka untukmu.”
Chelsa menjatuhkan diri dalam pelukan Ambar. Aroma minyak kayu putih, sabun mandi dan dedaunan hijau menguar dari tubuh wanita setengah baya itu. Chelsa menyesap dalam-dalam, untuk mematri aroma yang diakrabinya sejak silam itu ke dalam ingatan.
“Maafkan Chelsa, Bu,” isak Chelsa. Airmata mengalir lagi di pipinya.
“Jangan minta maaf, Nak. Justru Ibu bangga padamu, karena berani mengambil keputusan ini. Kamu gadis yang tegar dan kuat.” Ambar menyeka pipi lembab Chelsa dengan ibu jari. Ia memegang dagu Chelsa dan menatap mata berwarna karamel itu dengan penuh kasih sayang. “Ibu tidak akan berhenti mendoakanmu. Kau pasti sukses.”
Wina menaiki pangkuan Ambar dan menyelinap di antara dua wanita beda usia di depannya. “Wina mau dipeluk juga.”
Chelsa dan Ambar tertawa dan memeluk Wina di antara mereka.
%%%%%
Kamar itu berukuran 3x4 meter. Cat dindingnya berwarna kuning pucat dan lantainya dilapisi keramik berwarna coklat muda. Chelsa membuka jendela di sisi kanan pintu dan menggulung tirai yang terbuat dari kain tipis ke sisi jendela. Angin sepoi berhembus pelan ke dalam kamar. Ia membiarkan pintu terbuka lebar, untuk melepaskan sumpek dan bau pengap dari dalam kamar.
Pandangan Chelsa menyapu seluruh ruangan dan tersenyum puas. Kamar itu sudah dilengkapi dengan sebuah tempat tidur berukuran sedang yang diletakkan merapat ke dinding, lemari pakaian dan meja belajar dengan satu kursi. Kamar mandinya memang dibagi bersama untuk dua kamar, tetapi untuk keadaan itu pun, harga sewa yang harus dibayar Chelsa masih terbilang murah. Tempat kos ini berada di belakang sebuah universitas ternama dan dua buah perkantoran. Kendaraan umum dan fasilitas lain juga mudah dijangkau.
“Pokoknya, Neng, di sini yang paling murah,” ujar Pak Imron—pemilik kos Dahayu. “Bapak tinggal di ujung jalan, rumah yang kuning. Kalau ada apa-apa tinggal lapor ke rumah. Peraturannya juga nggak ribet, kok. Jaga kebersihan dan ketentraman bersama, jangan bawa tamu laki-laki ke dalam kamar, dan bayar kos tepat waktu.”
“Iya, Pak,” jawab Chelsa seraya menyerahkan lima lembar uang kertas berwarna merah. “Saya bayar per bulan saja dulu, ya, Pak.”
Pak Imron mengambil dan menghitung uang yang diberikan Chelsa. Ia mengangguk dan mengambil sebuah buku kwitansi dari dalam laci meja di depannya. “Coba Bapak pinjam kartu identitasnya sebentar, Neng.”
Chelsa menyodorkan kartu identitasnya. Pak Imron membaca sekilas data diri Chelsa dan mencatatnya dalam sebuah buku. Ia membuatkan kwitansi pembayaran dan memberikannya sekalian kartu identitas Chelsa.
“Neng dari Sukabumi? Ke Jakarta mau kerja?”