True Colour

Yudith Maretha
Chapter #3

Warna Kematian di Cloud Nine

“Chelsa, tolong bantu Anggi melayani meja delapan, ya. Kelihatannya dia agak kerepotan,” ujar Doni sambil menyodorkan selembar kertas. “Ini pesanan mereka. Tolong cek mana saja yang belum keluar.”

Chelsa mengambil kertas yang disodorkan Doni. Jari mereka bersentuhan dan Chelsa buru-buru menarik kertas itu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap Doni yang sekarang sudah kembali berkonsentrasi pada buku besar di depannya. 

“Pak,” panggil Chelsa pelan. “Jam berapa Bapak pulang?”

Doni mendongak. Keningnya berkerut melihat Chelsa masih berdiri di depannya. “Lho, Chel, kok masih di sini? Kamu tidak mendengar apa yang aku bilang tadi?”

“I-iya, Pak,” jawab Chelsa gugup. Ia memutar badan dan berjalan ke arah meja delapan. Anggi sedang menuangkan anggur pada salah satu gelas tamu. Tiga orang laki-laki dan dua orang wanita duduk mengelilingi meja sambil bercakap-cakap ramai. Chelsa melihat mereka mengenakan pin yang sama pada pakaian mereka.

“Chel, tolong ambilkan es batu tambahan,” pinta Anggi ketika Chelsa mendekat. “Ini anggur terakhir tapi kita kehabisan es batu.”

Chelsa mengangguk dan berjalan ke dapur untuk mengambilkan permintaan Anggi. Doni mengangguk ketika Chelsa melewatinya dengan membawa ember alumunium tempat es batu. 

“Pak, jam berapa Bapak pulang?” tanya Chelsa setelah ia selesai memenuhi ember dengan es batu. 

“Ada apa, Chel?” tanya Doni heran. “Kamu sakit? Sejak tadi kamu kelihatan gelisah sekali. Dan, kenapa kamu bertanya kapan saya pulang?”

“Itu, Pak, eh,” Chelsa menelan ludah. 

“Chelsa, itu Anggi sudah menunggumu,” potong Doni tidak sabar. Ia menunjuk ke depan. “Mereka itu langganan kita. Para manager dari PT. Kayu Agung. Ayo cepat layani mereka dulu.”

Chelsa tidak bisa membantah. Doni adalah supervisor yang baik, meski pun kadang-kadang berkesan arogan—dengan cara bicaranya yang kaku dan jarang tersenyum. Cloud Nine sedang ramai malam ini dan dua orang pramusaji mendadak cuti. Chelsa dan lima orang pramusaji lain cukup kewalahan melayani pelanggan sejak sore tadi. Doni terlihat khawatir dan uring-uringan, mengatur para bawahannya untuk melayani tamu dengan merata. Chelsa tidak tahu bagaimana caranya mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Ia memutuskan untuk menunggu saja sampai jam kerja selesai.

“Chel, itu tolong diisi gelasnya,” Anggi menunjuk gelas di seberang tempat Chelsa berdiri. Gelas itu milik wanita bergaun biru langit, yang sedang berbisik-bisik dengan laki-laki di sebelahnya. 

Chelsa membawa botol anggur dan berjalan ke arah yang ditunjuk Anggi. Wanita itu tersenyum dan mengangkat gelasnya untuk diisi. Laki-laki yang berbisik-bisik dengannya melambai dan mengangkat gelasnya juga. 

“Aku baru melihatmu. Kamu baru?” tanya laki-laki itu. Dia menatap Chelsa dari atas ke bawah. “Kamu cantik sekali.”

Wanita di sebelahnya memukul tangan laki-laki itu sambil tertawa. “Mata keranjang. Kamu tidak bisa menghilangkan kebiasaanmu itu, Tom. Menyambar seperti elang melihat mangsa.”

Laki-laki yang dipanggil Tom itu menaruh gelasnya yang sudah diisi di atas meja. Chelsa akan beranjak meninggalkan tempat itu ketika laki-laki bernama Tom itu memegang tangannya. 

“Hei, nanti dulu, Cantik. Aku sedang berbicara denganmu. Siapa namamu?”

Chelsa berdiri dengan sikap kaku. Ia menatap tangannya yang dipegangi Tom dan wajahnya memucat. Wanita di sebelah Tom melihat perubahan wajah Chelsa dan dia memukul tangan Tom. Cukup keras sampai pegangannya pada Chelsa terlepas. 

“Sudah, Tom. Jangan suka iseng. Dia sedang bekerja dan kamu lihat di sana, supervisornya sedang melotot mengawasinya.”

Lihat selengkapnya