Savira mengedipkan matanya beberapa kali, dia merasakan kepalanya sangat pusing. Savira mengernyitkan dahinya, melihat langit-langit dan mulai sadar dia berada di mana sekarang. Di kamar kesayangannya yang berukuran 2 kali 4 meter itu.
"Pusing banget." Savira langsung ingin memegang kepalanya, tapi terhenti saat dia merasakan ada yang menggenggam tangannya.
"Astaga!" Savira sontak menarik tangannya, terkejut dengan lelaki di sampingnya yang sedang tertidur. Yah... siapa lagi kalau bukan Panji. Lelaki itu menunggu Savira sadar dengan duduk di kursi sebelah kasurnya sampai tertidur.
"Panji!" kaget Savira
"Aih... Kenapa sih," ucap Lelaki itu mulai membuka matanya.
"Vir, udah bangun," kaget Panji melihat Savira sudah dengan posisi terduduk.
"Ngapain lo di sini kampret! Genggam tangan gue segala lagi, geli banget anjir," ucapnya dengan sorotan wajah kesal.
"Dihh, lo mimpi apaan? Pegang lo aja nggak, males banget bangke!" balas Panji tak terima, lagi pula dia juga tak menyadari hal itu.
"Males?! Jual mahal apa gimana Mas? Suka juga sama gue! Dasar, bikin malu diri sendiri lo!" balas Savira tajam.
"Iya, lo emang paling benar!" serah Panji pasrah.
"Gue kenapa tidur? Terakhir gue ngapain? Lupa gue anjir!" ucap Savira memegangi jidatnya dengan jari telunjuk.
"Lo hampir mati tadi!" Panji dan Savira langsung menoleh ke arah suara yang jelas bukan berasal dari mereka.
"Mulut lo kampret!" teriak Panji ke arah seseorang yang berada didepan pintu, yang tidak lain adalah Davira.
"Emang mulut sama akal nggak mau diasah dulu nih saudara satu!" kesal Savira menyambut kedatangan Davira.
"Dasar! Kayak Tom and Jerry aja kalian! Berantem terus! Kan, gue nggak jadi jalan bangke!" teriak Davira langsung pergi meninggalkan keduanya.
"Heran, datang nggak diundang pulang pun nggak ngundang!" ucap Panji mengelengkan kepalanya.
"Ngomong apa sih Nji?!" heran Savira yang tak bisa menerima perkataan garing sahabatnya itu.
"Nggak apa-apa. Gimana keadaan lo? Udah membaik?" tanyanya beralih.
"Baik," jawab Savira.
"Tunggu!" Savira seketika menunjuk Panji dan Panji hanya menatap bingung.
"Apa?" tanya Panji heran.
"Sebentar, bukannya tadi lo ngambek!?" tanya Savira kembali.
"Hah?" bingung Panji sok tak mengerti.
"Iyaa tadi lo kesel terus itu pergi, kan?!"
"Tadi kita berantem bukan? Kok lo di sini, bukannya tadi lo ninggalin gue!?" tanya Savira bertubi-tubi.
"Bukannya tadi nggak perduli sama gue?"
"Bukannya lo marah banget tadi, sampai gue nampar lo."
"Gue inget! Lo bener-bener emosi sama gue."
"Terus ngapain lo di sini?" Savira terus melontarkan banyak kalimat tanpa memberi kesempatan untuk Panji berbicara.
"Perasaan, gue juga manggil lo, nggak lo jawab. Lo jalan... aja terus, marah nggak jelas bikin gua emosi__" Seketika perkataannya terhenti, Savira hanya terdiam tak tahu hendak merespon apa, Panji langsung menutup mulutnya dan menatapnya lekat. Membuat Savira berfikir tak keruan.
"Maaf," ucap Panji lembut.
"Gue nggak akan pergi lagi," lanjutnya serius dan kembali menarik tangannya dari mulut Savira.
"Sok cool kampret!" ketus Savira langsung mengelap mulutnya dengan tisu diatas meja.
"Ngerusak suasana lo!" decak Panji langsung berdiri dari kursi yang di dudukinya.
"Lo mikir mesum ya, anjir!" tuduh Savira.
"Bisanya begitu! Otak lo kali yang mesum! Cuma bungkam mulut pakai tangan aja gelabakan, apalagi pakai bibir!" ucap Panji membuat Savira membelalakan kedua matanya.
"Anjir mulut lo! Nggak sudi ya! Bibir gue yang indah ini kena bibir mesum lo!" Savira langsung beranjak dari kasur ingin sekali dia menerkam sahabat kampretnya itu.
"Mau apa lo?" tanya Panji melihat gadis itu ikut berdiri.
"Gue mau bungkam mulut lo!" teriak Savira, kini ia berjalan ke arah panji.
"Pakai bibir?" tanya Panji polos.
"Bangke!" Plakk..
Sudah bisa ditebak, Savira menampar mulut Panji sekeras mungkin, membuat Lelaki itu meringis kesakitan.