Davira menyuap makan paginya dengan amat lahap, hanya dirinya dengan sang Mama dan Papa yang berada di meja makan saat ini. Savira tak ada keluar dari kamar sejak malam tadi, membuat Bu Ranty menjadi khawatir.
"Kakak kamu mana?" tanya Bu Ranty sambil meminum air putih di sampingnya.
"Entah," jawab Davira tak perduli.
"Pelan-pelan dong makannya, Sayang," sahut Bu Ranty melihat Davira makan tanpa jeda.
"Nggak bisa, enak banget," balas Davira masih menyuap, tanpa melirik Bu Ranty. Pak Randy hanya menggeleng melihat anaknya itu.
"Ma." Davira menyodorkan piringnya kepada Bu Ranty, membuat wanita paruh baya itu kebingungan.
"Kenapa?" tanya Bu Ranty heran.
"Nambah dong," cengirnya.
"Kamu udah habis berapa, Sayang?" kaget Bu Ranty melihat anaknya yang tak berhenti kenyang.
"Ahh, masih laper! Terakhir deh," rengeknya menampilkan wajah permohonan. Bu Ranty pun hanya bisa tersenyum dan menambahkan makanan yang dipinta anaknya.
Setelah itu Bu Ranty beranjak dari meja makan, membuat Pak Randy sontak melihat ke arahnya.
"Ke mana? Belum selesai kamu makan," tanya Pak Randy yang melihat nasi istrinya masih setengah. Davira berdongkak, tertarik untuk melihat.
"Savira nggak ada keluar Mas, aku samperin dulu," jawabnya kemudian berlalu pergi menaiki tangga menuju kamar anaknya.
Pak Randy dan Davira pun kembali fokus dengan makannya, sebentar lagi mereka bergegas akan pergi, Pak Randy ke kantor dan Davira bersekolah.
*****
Tok! Tok!
"Savira."
"Savira, Sayang."
"Buka, Nak."
"Savira, Nak." Bu Ranty terus mengetuk dan memanggil anaknya dengan pelan sampai akhirnya pintu terbuka.
"Ada apa, Ma?" tanya gadis itu dengan nada malas.
"Kamu kok nggak siap-siap?" kaget Bu Ranty melihat anaknya masih dengan piyama.
"Savira sakit, Savira nggak pergi sekolah ya, Ma," pinta Savira memohon.
"Kenapa nggak bilang kalau sakit, ini malah nggak keluar kamar seharian, bikin Mama khawatir," cemas Bu Ranty.
"Belum seharian kok, nggak apa-apa kan Savira nggak sekolah?" tanya Savira memastikan.
"Ya udah, makan dulu ya, bisa ke bawah? Atau mau Mama bawain?" tanya Bu Ranty.
"Nanti Savira ke bawah aja Ma, mau mandi dulu."
"Ohh ya sudah, minum obat ya, Sayang kalau udah makan," peringat Bu Ranty sambil menyium puncak kepala anaknya.
"Iya Ma, Mama juga sakit?" tanya Savira melihat wajah Mamanya pucat.
"Sebentar lagi Mama mau ke butik, jadi nggak ada siapa-siapa di rumah, langsung kunci pintu ya, Nak," pesan Bu Ranty tak menghiraukan pertanyaan Savira.
"Mama nggak jawab, Mama sakit kah?" ulang Savira lagi.
"Nggak, Sayang."
"Beneran? Mama nggak bohong?"
"Iya, Sayang."
"Jangan bohong ya sama Savira."
"Nggak, Sayang. Ya udah nggak apa-apa kan, Mama tinggal?" tanya Bu Ranty memegang wajah Savira dengan kedua tangannya.
"I'ts oke Ma, Savira baik-baik aja," jawab gadis itu menenangkan.
"Ya udah, sana mandi, biar seger," perintah Bu Ranty yang diberi anggukan oleh Savira.
Bu Ranty pun berjalan turun meninggalkan Savira dan Savira kembali menutup pintu kamarnya.
*****
Setelah selesai mandi, Savira keluar dari kamarnya, Savira mengedarkan pandangannya. "Sudah sepi," lirih gadis itu hampa.
Savira pun berjalan turun ke bawah untuk menyantap makanan seperti yang diperintahkan oleh mamanya.
Savira tidak berbohong, dia benar-benar lemas sekali untuk pergi ke sekolah, kepalanya pun terasa sangat berat jika terlalu lama berjalan.
"Apa karna semalam kali ya, pusing banget gue," lirih Savira kemudian menduduki meja makan seorang diri.
Sepanjang malam gadis itu menangis tanpa henti, Savira sudah seperti orang frustrasi semalam, dia sudah lelah memikirkan berbagai cara agar Panji bisa melupakan perasaannya.
Sungguh sulit membukakan hati Panji agar dia mau menerima gadis selainnya.
"Nggak nafsu gue," lirih Savira membuang nafas pelan, lalu kembali menutup beberapa makanan yang sempat dibukanya sebentar.
"Ya ampun, lupa gue." Savira kembali berdiri, dia harus mengunci pintu terlebih dahulu agar lebih aman, karna dia benar-benar sendiri, apa lagi dengan keadaannya yang kurang sehat.
Krekk..
Savira terkejut, belum sempat dia lanjut untuk melangkah, terdapat seseorang yang membuka pintu, sangat perlahan. Saat itu pula Savira merasakan kepalanya semakin pusing, kakinya pun sangat terasa lemas untuk berdiri.
"Aghhh!" Savira memegang kuat kepalanya yang sangat terasa sakit, matanya juga terasa panas sekali, hingga membuatnya sulit untuk membuka pandangan dengan sempurna.