Savira keluar dari rumahnya bersiap untuk pergi ke sekolah, sudah 3 hari dia tidak masuk sekolah karna sakit dan sekarang keadaannya sudah membaik, Savira akhirnya kembali bersekolah.
"Pagi, Kak Savira cantik!" sapa Davira mengikuti langkah Savira yang akan pergi bersama Panji.
"Mau nebeng?" sinis Savira, melirik ke arah Davira yang berada di sampingnya.
"Hehe... boleh kan? Gibran nggak masuk hari ini Kak, nebeng ya," pintanya sambil mengedipkan mata.
"Halah, kemaren aja bilangnya, gue tuh nggak usah lagi ya diurusin!" olok Savira mengikuti gaya bicara Davira tempo hari.
"Gue udah punya cowok, gue nggak mau bareng kalian terus."
"Gue bosen di mobil buruk Kak Panji."
"Gue suka naik motor sama pacar gue, ngadem pagi-pagi, dari pada sama kalian yang suka berantem." Savira terus mengoceh mengejek kalimat-kalimat yang sering Davira lontarkan.
"Iya nggak? Kalau nggak ada Gibran aja, baru lo nyambar gue sama Panji!" lanjut Savira lagi yang dibalas cengiran oleh Davira.
Ya... begitulah, semenjak Davira berpacaran dengan Gibran, dia menolak ajakan Savira dan Panji dengan beberapa kalimat buruknya sebagai alasan. Jika sudah susah begini , barulah ngemis-ngemis mau nebeng. Emang adek nggak ada akhlak!
"Iyaa maaf deh, nggak begitu lagi gue," serah Davira sok menyesal.
"Dasar Ikan Kakap!" ledek Savira memukul kepala Davira pelan.
"Apa lo bilang, sekali lagi!" kesal Davira terbelalak.
"Lo dasar, Ikan Kakap!" ulang Savira tanpa beban.
"Kak Savira!" Gadis kecil itu berteriak, bersiap akan memukul Savira dengan tasnya.
"Eitss... mau nebeng nggak?" Davira langsung menghentikan keinginannya memukul Savira, seperti baru mendapatkan ancaman.
"Iya, iya," kesal Davira membuang nafas kasar.
Savira tersenyum penuh kemenangan, tanpa pembicaraan kembali, mereka pun berjalan ke mobil Panji.
*****
"Lho! Kok ada Ikan Kakap!" ketus Panji sok terkejut dengan kehadiran Davira. Ikan Kakap memang julukan Davira dari Panji dan Savira.
"Ish! Apaan sih, Ikan Kakap terus! Enak aja, udah jalan! Kak Panji diam!" tajam Davira.
"Katanya mobil gue buruk, heran gue, Ferarri lo bilang buruk, gimana kabar suzuki!" ucap Panji yang tak digubris oleh Davira.
Panji mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, walaupun mobil itu masih milik papanya. Yang jelas kalau sudah mahal, apa salahnya untuk disombongkan. Tenang itu hanya gurauan semata. Panji bukan anak yang sombong kok.
"Diam aja lo," goda Panji melihat Davira dari kaca spion mobil.
"Udah jalan aja, iya gue akui mobil lo paling keren se-Asia Kak!" lantang Davira melirik Panji yang memerhatikannya sedari tadi. Savira hanya tertawa kecil melihat keduanya.
"Oke, Davira pintar." Panji pun menyalakan mobilnya dan bergegas ke sekolah.
*****
"Lo berdua jemput gue ya, awas nggak!" teriak Davira setelah keluar dari mobil.
"Sama Gibran lah sana!" sahut Savira dari kaca mobil.
"Ihh... dia sakit Kak, suka banget bikin kesal!" ucap Davira masih dengan posisinya.
"Iya, nanti kita jemput, sana masuk gue mau cabut," sahut Panji yang dibalas senyum pahit oleh Davira.
"Iyaa, bye!" Davira pun bergegas dari sana, bersamaan dengan Panji dan Savira yang langsung menuju ke SMA Pusaka.
*****
Hari ini jadwal pelajaran Savira kosong, Pak Rusdi yang seharusnya mengajar tidak masuk, karna kabar istrinya yang masuk rumah sakit. Semua pun berbahagia.
Jam kosong seperti ini sangatlah berharga bagi semua siswa, walaupun guru mereka sedang berduka, tetap menjadi suatu kegembiraan bagi mereka jika sang guru tak hadir.
Berbeda dengan yang lain, Savira tidak terlalu heboh dan riang saat mendengar Pak Rusdi tak hadir. Dia memilih diam mengutik ponsel dan membuka sosmed instagram-nya melihat beberapa kelucuan yang mampu membuatnya tertawa sendiri.
"Vir," panggil Keysa, menyadarkan Savira.
"Ya," jawabnya singkat tersenyum ke arah Keysa.
"Kira-kira... Panji bisa suka nggak, ya, sama gue?" tanya Keysa penuh harap.
"Mungkin, dengan berjalannya waktu," jawab Savira berusaha menyenangkan.
"Berarti lo juga?" tanya Keysa datar. Savira mengerutkan keningnya, heran.
"Maksudnya?"
"Lo juga akan suka sama Panji dengan berjalannya waktu," tatap Keysa sedih.
"Kalau gue udah jelas nggak," jawabnya meyakinkan Keysa.
"Baguslah, gue kira lo bakal jadi saingan gue," ucap Keysa berhasil mengejutkan Savira.
"Tenang aja, gue nggak akan bertengkar sama lo cuma karna Panji, gue udah anggap dia saudara," balas Savira dengan senyumnya.
"Oke, gue pegang kata-kata lo, kalau lo nggak akan suka sama Panji," ucap Keysa.
"Gue janji, gue akan perjuangin cinta pertama gue," lanjutnya tersenyum lebar.
Savira hanya membalas dengan senyuman tipis, entah kenapa, seketika Savira tak suka dengan Keysa.
"Lo mau bantu gue?" tanya Keysa kembali.
"Bantu apa?"
"Buat Panji suka sama gue."
"Mau aja."
"Beneran?"
"Gue usahain."
"Kayaknya buat Panji suka sama gue, nggak bisa pakai cara halus, yang pasti dia harus benar-benar lupa sama lo."
"Hah?" tanya Savira tak mengerti.
"Lo mau kan, jauhin Panji" ucap Keysa tersenyum lebar.
"Maksud lo?" Keysa tak menjawab, dia beranjak pergi dari hadapan Savira entah kemana.
Savira bingung, tapi tak berniat untuk mencegah kepergian Keysa, dia kembali lagi dengan ponselnya.
*****
Semua anak-anak berombongan keluar kelas saat bel istirahat berbunyi, tidak dengan Savira dia memilih tetap di kelas. Perkataan Keysa membuatnya kepikiran, dia tak tahu maksud gadis itu, tapi dia bisa merasakan akan ada sesuatu yang tidak baik nantinya.
"Vir, ngelamun aja," ucap Panji yang tiba-tiba datang.
"Eh, sejak kapan lo di sini?" kaget Savira melihat Panji sudah di hadapannya.
"Sejak tadi, ke kantin yuk," jawab dan ajak Panji.
"Nggak Nji, lo aja, gue nggak pengin makan," tolak Savira.
"Kenapa? Biasa lo paling gercep kalau ke kantin."
"Lagi males aja."
"Lo masih sakit?" terka Panji seketika khawatir.
"Nggak, udah seger gue," jawab Savira santai.
"Bener udah sehat?"
"Iyaa, Nji."
"Ya udah." Panji langsung beranjak dari hadapan Savira dan meninggalkannya.
"Kemana Nji?" heran Savira, tumben Panji meninggalkannya. Biasanya dia akan terus membujuk atau memilih menemani Savira.
"Ke kantin, lo kan nggak mau," jawab Panji tanpa menghentikan langkahnya.
Savira hanya terdiam melihat punggung lelaki itu yang sudah menjauh. Pikiran Savira semakin kacau.
"Apa mungkin... Keysa?" Savira menghentikan pikiran buruknya. Dia jadi berpikir Keysa telah melakukan keinginannya. Entah apa yang sudah dia lakukan. Savira juga tak tahu.
Walaupun ia tak menyukai Panji, Savira juga tak siap harus kehilangan sahabat terbaiknya.
*****
Panji pergi menuju kantin, ia melangkah memesan nasi goreng untuk makan siang ini. Dia tak mencari meja makan untuk di singgahi, melainkan dia menunggu pesanannya dengan berdiri di sana hingga selesai.
Panji tak sanggup jika harus menemani Savira dengan perut laparnya, setelah sekian lama, baru ini dia kepikiran untuk menemani Savira dengan sarapan. Di saat seperti ini, saat Savira tidak ingin diajak pergi ke kantin.
Setelah selesai membayar, Panji pun beranjak pergi dari kantin.