True Love

salisa
Chapter #8

Membuka Fikiran

Bercak-bercak berwarna coklat mengotori lantai sekolah SMA Pusaka. Pagi ini hujan turun begitu deras secara tiba-tiba. Menyebabkan para siswa-siswi datang menggunakan payung dan jas hujan.

Kali ini Panji berangkat seorang diri Davira tiba-tiba meriang hingga akhirnya tak masuk sekolah, jikalau pun Davira masuk sekolah, dia akan berangkat dengan Gibran yang kini sudah sembuh.

Sedangkan Savira juga tak masuk hari ini dengan alasan yang berbeda, dia izin merawat Davira yang demamnya naik turun, akibat kesibukan orang tuanya yang tak bisa merawat Davira.

Savira terpaksa tak masuk sekolah dan jika Savira bersekolah pun Panji tak lagi menjemputnya, sekarang gadis itu sering berangkat bersama John.

Sejak seminggu lalu. John selalu datang awal menjemput Savira. Hingga akhirnya Panji memutuskan untuk tak lagi menjemputnya. Keadaan kedua sahabat itu semakin berjauhan, kejadian itu membuat mereka tak lagi saling menyapa ataupun makan bersama di kantin sekolah.

Entahlah, Panji merasa gengsi jika harus meminta maaf dahulu pada gadis itu, dia pun tak mengerti, karna biasanya dia akan menyapa gadis itu duluan dalam keadaan apapun, tapi sekarang tidak. Panji lelah, Panji merasa selalu dia yang harus mengerti.

Panji segera turun dari mobil, dan berlari kecil ke dalam sekolah, menghindari derasnya hujan dengan payungnya.

Panji sangat merindukan kebersamaannya dengan Savira. Dia jengah terhadap Keysa yang akhir-akhir ini selalu membuntutinya jika berada di sekolah, apalagi dalam keadaannya yang berjarak dengan Savira, seperti menjadi peluang besar bagi Keysa.

"Panji." Seseorang menepuknya dari belakang, Panji yang masih di ambang pintu kelasnya langsung berhenti.

"Nji, gue mau bicara sebentar," lanjut orang itu setelah Panji berbalik padanya.

"Apa?" tanya Panji datar pada kawan di depannya, yang tidak lain adalah Madan.

"Please, balik Nji, coach marah besar saat tau kalau lo keluar," pinta Madan sungguh-sungguh.

"Bukan urusan gue, kalian juga kan yang mau gue keluar," sindirnya.

"Kalian?" ucap Madan terheran.

"Nggak ada yang pengin lo keluar Nji, kalau pun iya itu Arsad doang. Please Nji, lo sangat dibutuhkan dalam kesatuan tim basket Pusaka," lanjutnya penuh harap.

"Lo bisa cari kapten lain, dan kalau kekurangan tim pemain, ada beribu anak Pusaka yang siap," ucap Panji.

"Yang siap mungkin hampir seluruh siswa Pusaka, tapi yang handal? Itu Nji yang dicari," cermat Madan.

"Gue akui, lo sangat hebat dalam bermain basket, gue bisa pahamin kesalahan lo yang kemarin, gue tau lo sesayang itu sama Savira," lanjut Madan mengerti keadaan Panji.

Panji hanya diam menatapnya dengan pandangan kosong.

"Oh iya, sorry kalau salah, tapi setau gue, lo jarang bareng Savira, nggak biasanya. Apa kalian berantem hebat? Gue ketinggalan cerita dan yang bikin anak-anak heboh, Savira selalu diantar jemput sama John, lo nggak cemburu?" tanya Madan bertubi tubi, membuat telinga Panji terasa panas.

"Bukan urusan lo, lo nggak berhak sok tau tentang gue sama Savira," jawab Panji setenang mungkin.

"Keputusan gue udah bulat, jadi percuma lo bicara panjang lebar di sini," lanjut Panji tak segan meninggalkan Madan dan beranjak masuk ke dalam kelasnya.

Madan tak menyerah, dia terus berusaha mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk berbicara dengan Panji tanpa mengikutinya masuk kelas. Karna dia tau, bisa saja Panji akan muak dan tak segan akan menghajarnya.

Jadi dia cukup berdiam di tempat agar bisa kabur lebih cepat jika yang dia khawatirkan itu benar akan terjadi.

"Gue tau main basket itu kecintaan lo sejak kecil! Gue tau Nji! Nggak mungkin lo akan ambil keputusan yang salah kayak gini!" teriak Madan dari pintu kelas Panji.

Panji hanya diam di bangku kelasnya tak menggubris perkataan Madan.

"Jangan gegabah! Fikirin baik-baik!"

"Apa perlu gue bilang ke Savira, kalau lo keluar dari basket dan itu karna dia!"

"Gue yakin, Savira belum tau tentang ini!" teriak Madan. Ia terus berkoar di depan pintu kelas Panji.

Seketika Madan merasakan tubuhnya menegang. Panji mulai berjalan perlahan ke arahnya dan menatapnya lekat.

"SORRY NJI! GUE PAMIT!" teriak madan langsung berlari secepat kilat, tak ingin habis di tangan lelaki itu.

Sebenarnya Panji hanya ingin mengatakan sepatah kata saja padanya, namun Madan sudah berlalu begitu saja.

Brukk!

Belum jauh Madan berlalu, tubuhnya sudah terjatuh di lantai, tak jauh dari posisi kelas Panji. Sangking takutnya, dia tak menyadari keadaan lantai yang sangat licin akibat hujan deras saat itu. Alhasil tubuhnya menjadi korban kecerobohannya.

Sontak semua yang ada di sana tertawa melihat Madan, begitu pula dengan Panji yang berdiri di depan pintu kelasnya, dia tak berhenti tertawa melihat kejadian yang tertimpa pada Madan.

"Sukurin lo!" teriak Panji kemudian berlalu masuk ke kelasnya.

"HEH! KENAPA MASIH PADA DI LUAR!"

"AYO MASUK-MASUK!"

Suara yang sangat tak asing didengar seorang murid, semua langsung bubar. Guru-guru kelas mereka sudah berdatangan untuk mengisi pelajaran kelas mereka masing-masing.

Tampak hari ini kebanyakan guru datang terlambat, mungkin karna hujan deras tadi pagi yang kini sudah mulai mereda.

******

Savira membuka pintu kamar sang adik dengan membawa beberapa resep obat yang disarankan oleh dokter. Dia kembali setelah membawa piring sisa makanan Davira ke dapur, yang tadi sudah disuapkan padanya.

Davira sangat terlihat lemas, membuat Savira menjadi tak tega.

"Minum dulu Dav," suruh Savira sambil membantunya untuk duduk.

"Kak, gue kangen Gibran, pengin ketemu dia," ucap Davira tak berdaya. Savira melirik ke arah jam dinding menunjukan pukul 01:00 lalu melirik pada Davira

"Lo sakit, nggak usah mikir cowok dulu, tidur gih."

"Kenapa? emang nggak boleh kangen?"

"Nggak boleh."

"Apaan, nggak boleh! Gue pengin ketemu cowok gue."

"Tidur, nanti aja ketemu di mimpi."

"Ish!"

Davira menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, memalingkan wajahnya dari Savira.

"Cihh... ngambek," goda Savira tersenyum meremehkan.

Lihat selengkapnya