Panji berhenti di depan supermarket, sore ini dia disuruh sang Bunda untuk membeli beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis.
Langkahnya seketika terhenti, dia mengundurkan niatnya untuk masuk, Panji lebih memilih belanja di supermarket yang lain ketika matanya bertemu dengan seseorang yang tidak ingin ia temui saat ini.
"Panji!" teriak seorang gadis. Panji membuang nafas kasar, dia pun mengurungkan niatnya untuk kembali masuk ke dalam mobil, sepertinya Panji sudah terlihat oleh gadis itu.
"Mau kemana? Nggak jadi masuk?" tanya Savira, sudah berada di belakang Panji.
"Ahh, nggak," jawabnya cepat, sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Apa karna gue?" tanya Savira tak enak.
"Ng... nggak, gue salah berhenti," jawab Panji berbohong.
"Gue tau kok, nggak apa-apa kalau emang lo masih marah sama gue," ucap Savira sungguh-sungguh.
Panji hanya diam tak bereaksi, dia juga bingung ingin membalas apa, pertemuan mereka terlalu tiba-tiba.
"Davira sakit," lanjut Savira memberitahu.
"Iya, gue tau," jawab Panji.
"Tadi siang, Iby ke rumah gue, katanya lo mau ikut tapi nggak jadi, kenapa?"
Lagi-lagi Panji hanya diam, Savira benar-benar dibuat bertanya-tanya olehnya. Hingga akhirnya Savira memberanikan diri untuk mendekat.
"Nji," panggil Savira menggenggam tangan Panji.
Panji langsung terkejut, tapi dia membiarkan saja Savira melakukan keinginannya, Panji ingin melihat apa yang akan gadis itu lakukan.
"Gue tau, gue sangat egois," ucap Savira menatap Panji dengan sendu.
"Gue nggak pantes jadi sahabat lo, apa lagi jadi cewek lo," lirih Savira.
"Gue minta maaf, lo selalu aja ngalah sama sikap gue yang kekanakan."
"Gue tau lo sayang sama gue, gue juga Nji, tapi gue nggak bisa suka sama lo." Savira terus berbicara dengan sangat pelan dan masih menatap lelaki itu.
"Lo harus percaya sama gue."
"lo bisa! Menemukan cewek yang akan setia dan lebih pantes buat lo, bukan gue," ucapnya tanpa dibalas oleh Panji, tak sadar mata Savira mulai berkaca-kaca.
"Nji," panggilnya kembali, masih dengan posisi yang sama.
"Apa lo bosen berteman sama gue?" tanya Savira memastikan.
Panji sontak menatap ke arah gadis di hadapannya, dia ingin sekali menjawab, tentu tidak! Benar-benar tidak sama sekali! Tapi dia urungkan, egonya sudah menguasai dirinya, lelaki itu enggan untuk berbicara sepatah katapun pada Savira.
"Kenapa diem aja? Apa bener? Lo bosen?" tanya Savira lagi mulai meneteskan air mata.
"Nji, gue tanya sekali lagi, apa lo bosen?"
"Apa lo bosen bersahabat sama gue?"
Panji mulai menatap Savira kembali, dengan sangat lekat, membuat Savira terbungkam begitu saja. Lelaki itu terus menatapnya hingga akhirnya bersuara.
"Iya gue bosan, lo terlalu egois," jawab Panji datar, tatapannya berubah dingin.
Savira sontak melepas gengamannya dari tengan Panji.
"Lo nggak mau bersahabat lagi sama gue?"
"Bu... Bukan gitu juga__"
"Nggak apa-apa Nji, gue tau lo capek dengan sikap gue," senyum Savira.
"Kalau lo emang nggak mau berteman sama gue lagi," ucap Savira.
"Gue nggak apa-apa kalau lo menjauh."
"Gue tau gue udah terlalu sering nyakitin perasaan lo."
"Gue bener-bener minta maaf," ucap Savira sungguh-sungguh sambil mengusap air mata yang berjatuhan.
"Vir, jangan nangis, bukan itu maksud gue," ucap Panji.
"Gue bener-bener minta maaf," ulang Savira, gadis itu langsung beranjak pergi dari hadapan Panji, dia mengusap kembali air mata yang turun di pipinya, dia pergi karna tak sanggup lagi membendung air mata yang sudah ia tahan sebisa mungkin.
"Savira!" Panji mengejar Savira dan mencegahnya hingga berada di hadapannya.