Savira sontak melepas pelukan dari John. Sedangkan John terkejut melihat Savira yang melepas pelukannya tiba-tiba dengan wajah tampak gugup, seperti melihat sesuatu yang ditakuti.
"Why?" tanya John menatap Savira khawatir. Savira masih fokus pada seseorang yang dilihatnya.
"Gu... Gue," ucap Savira semakin gugup, melihat Panji yang kini mulai mendekatinya.
"Lo kenapa, Vir?"
"Gu... Gue nggak enak."
"Nggak enak?" bingung John, refleks mengikuti arah pandangan Savira.
"Panji?" lirih John kaget melihat Panji yang sudah berada di hadapan mereka.
"Hai," sapa Panji tenang. Walau Savira sangat jelas melihat sebuah kekecewaan pada wajah Panji.
Savira hanya terdiam, meneguk ludahnya dalam-dalam, dia tak menyangka Panji akan ke rumahnya bersamaan pada saat hari jadiannya dengan John.
"Lo... lo kapan kesini?" tanya Savira hati-hati.
"Kenapa? Kaget?"
"Ada perlu apa lo ke sini?" sahut John menegas.
"Santai," ucap Panji pelan.
Panji berjalan mendekat pada Savira, membuat gadis itu terbungkam begitu saja. Panji memberikan senyum hangatnya.
"Apa lo sungguh cinta sama John?"
"Iya," angguk Savira yakin.
"Semoga lo bahagia." Panji langsung mundur dan beranjak pergi dari keduanya.
Savira hanya terdiam, menatap kepergian Panji, tak percaya Panji hanya akan mengatakan beberapa kata saja, dia fikir Panji akan memberontak atau semacamnya. "Ini yang terbaik Vir," gumamnya dalam hati.
"Are you okay?" tanya john melihat Savira yang mulai meneteskan air mata.
"Nggak apa-apa," jawab Savira berusaha tersenyum.
"Gue akan selalu di samping lo," ucap John kembali memeluk kekasihnya.
"Gue akan selalu ada buat lo."
*****
Setelah sampai di rumah, Panji langsung masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat dan menguncinya. Panji benar benar ingin sendiri saat ini.
Perkataan Savira terus terngiang-ngiang di kepala Panji, membuatnya semakin pusing.
"Iya."
Walau hanya tiga kata, tapi kata itu berhasil membuat hati Panji hancur berkeping-keping.
Panji menghempaskannya tubuhnya di kasur, menatap langit-langit dengan air mata yang mulai berjatuhan.