Setelah diantar John, Savira langsung masuk ke dalam kelas. Cuaca sangat tidak mendukung pagi ini.
Savira lupa jika hari ini dia akan mengumpulkan Pr-nya, sedangkan dia belum selesai dengan beberapa soal, entahlah, dia juga lupa apa saja yang dia lakukan di rumah sampai ia lupa mengerjakan Pr. Mau tak mau Savira langsung mengerjakannya sekarang.
"Vir, boleh bicara?"
Savira berdongakak. Baru saja Savira memegang bolpoin, Madan muncul di hadapan Savira.
"Nanti aja bisa? Gue belum ngerjain Pr," jawab Savira merasa terganggu.
"Ini lebih penting dari Pr lo," ucap Madan.
"Ck, Apa? Awas nggak penting," ancam Savira.
"Tentang Panji," jawab Madan memberitahu.
Savira menghela nafas panjang. "Tuh kan, nggak penting," sebal Savira.
"Ini penting, Vir!" tegas Madan.
"Ya udah apa?"
"Apa lo tau, Panji keluar dari basket?"
"Bukan urusan gue,"
"Kita udah 4 bulan main tanpa kapten!"
"Gue nggak ada urusan sama Panji, jadi lo nggak usah lagi ngomong tentang dia ke gue, paham!" ucap Savira menegaskan.
"Ini jadi urusan lo, Vir!" ucap Madan geram.
"Karna gue sahabatnya bukan berarti urusan gue, kan?" sinis Savira.
"Gue tau kalian udah nggak akrab."
"Nah, ya udah."
"Tapi masalahnya ini semua karna lo!" ungkap Madan membuat Savira bingung.
"Kok gue?" heran Savira tak terima.
"Panji keluar karna Arsad yang minta, Arsad minta Panji tanggung jawab atas kekalahan tim kita 4 bulan lalu dan akhirnyaa Panji keluar, karna menurut Panji cuma itu salah satu cara dia untuk bertanggung jawab," ucap Madan menjelaskan.
"Terus kenapa jadi salah gue? Dalam cerita lo sama sekali nggak ada terlibat nama gue!" ucap Savira kesal.
"Lo ikut kan, waktu tim kita lomba sama anak Tiga Bangsa?" tanya Madan tak menghiraukan kekesalan Savira.
"Iya gue ikut, terus? Apa hubungannya sama gue?" tanya Savira masih tak mengerti.
"Saat itu John tiba-tiba keluar dari lapangan, lo ingat?"
"Iya ingat, terus?"
"Tim kita seneng banget waktu itu, karna kita fikir kita bakal menang, tapi ternyata...."
"Ternyata apa?"
"Lo nggak tau kalau kita kalah?!" geram Madan langsung menggebrak meja Savira.
"Kok jadi emosi ke gue!" teriak Savira.
"Sorry, gue lepas kendali," ucap Madan mengakui.
"Lo nggak tau?! Kalau tim kita kalah karna Panji, dia yang megang bola saat itu, di saat penentuan terakhir. Tapi Panji nggak fokus sampai akhirnya bola direbut sama anak Tiga Bangsa," lanjut Madan bercerita.
"Gue mau tau, salah gue dari segi mana?" tanya Savira tajam.
"Sabar, lo harus tau cerita awal sampai akhir, biar paham."
"Oke."
"Gue ngeliat Panji fokus sama lo yang lagi bicara sama John, di saat genting-gentingnya Panji masih sempat mikirin lo, dan gue rasa karna dia cemburu, itulah yang buat Panji jadi nggak fokus sampai akhirnya kita kalah!"
"Salah dia ngapain ngelirik gue!" jawab Savira tak perduli.
"Lo egois banget sih Vir!" emosi Madan.
"Coach marah besar saat tau Panji keluar dari basket! Lo fikir gampang nyari kapten se-handal, se-ganteng, se-keren, se-cakep, se-cool, dan se-profesional Panji!" puji Madan bertubi-tubi.
"Lo juga tau kan, kalau main basket adalah kecintaan Panji sejak dulu? Egois lo!" lanjut Madan sangat emosi.
"Gue udah bilang sama dia, kalau gue kesana karna pengin liat cowok lain, bukan nontonin dia, masih salah gue kalau dia cemburu?" ucap Savira terus melawan.
"Lo yang minta ke sana?" tanya Madan tak menggubris kicauan Savira.
"Iya," jawabnya singkat.
"Udah jelas sekarang!"
"Apanya?"
"Lo maksa Panji buat ke sana kan pasti?"
"Iya, emang kenapa? Nggak boleh?"
"Andai lo nggak maksa buat ke lapangan, andai lo nggak ke sana, semua nggak akan terjadi Vir!" teriak Madan.
"Lo fikir baik-baik, berapa kali Panji banyak berkorban karna lo!" lanjutnya menatap Savira yang hanya diam.
"Gue harap lo mau ngerti, jangan egois jadi cewek!" Madan langsung bergegas pergi dari hadapan Savira.
Savira hanya terdiam, dia mencerna kembali perkataan Madan.
"Apa gue salah? Gue terlalu egois? 4 bulan? Panji nggak ada cerita soal ini," lirihnya tersadar.