"Sial!"
Savira menoleh, seperti dugaannya, Panjilah kini yang berada di hadapannya. Ingin dia mengumpat dalam hati, tapi hatinya seketika iba melihat Panji yang sepertinya masih lumayan susah untuk berdiri sempurna dengan kakinya.
"Kenapa masuk sekolah kalau masih sakit?" Pertanyaan itu refleks keluar dari bibir Savira tanpa dia minta.
"3 hari udah cukup, gue nggak mau banyak tertinggal pelajaran," jawab Panji. Begitulah Panji, berbeda jauh dengan Savira yang gemar membolos dan pastinya akan senang jika mendapat suatu alasan yang membuatnya meliburkan diri sendiri dari sekolah.
"Iya jenius, ada perlu apa?" puji dan tanya Savira.
Panji terkekeh pelan, Savira selalu berucap demikian jika muak dengan ketekunannya.
"Jangan bolos terus-terusan," nasihat Panji sebelum mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
"Ada perlu ap__" Kalimat itu langsung terpotong saat Panji megulurkan benda kecil yang berbinar dari sakunya tadi.
"Kok bisa sama lo?!" kesal Savira sedikit terkejut. Ia langsung mengambil cepat benda mengkilau itu dari tangan Panji.
"Gue bukan pencuri."
"Gue tau, gue nanya, kok bisa sama lo? Apa sengaja biar ada alasan buat nyemperin gue?" ucap Savira percaya diri.
"Gelang itu jatuh saat lo mau pergi dari kamar gue," jawab Panji datar.
"Kenapa nggak teriakin gue? Bener kan lo sengaja?"
"Ck... Lo udah keluar dari kamar gue saat itu, teriakan gue nggak mempan, apa lo masih mau nanya kenapa gue nggak ngejar lo saat itu?" ucap Panji tajam.
"Oh... Ya udah, gue ke kelas," pamit Savira, jujur dia sedikit malu.
"Tunggu," cegah Panji, membuat Savira kembali menoleh dan menghentikan langkahnya.
"Apa lagi?"
"Biasa aja liriknya, gue tau lo risih sama gue, gue cuma mau minta maaf, setelah itu gua janji nggak bakal ngusik hidup lo lagi," jelas Panji.
Savira merasa aneh dengan dirinya, entah kenapa hatinya tak menyetujui ucapan Panji yang terakhir.
"Maaf untuk?" tanya Savira tak mengerti.
"Gue udah tau semuanya, sorry atas kejadian di parkiran lalu," tulus Panji.
"Hah, maksudnya?" Savira melihatkan wajah bingungnya.
"Kemarin ada orang yang lapor ke gue, kalau Keysa jebak lo saat itu, dia nggak sengaja denger Keysa bicara sendiri di kamar mandi."
Savira mengangguk, hingga suatu pertanyaan muncul di kepalanya.
"Kenapa lo percaya? Kan itu dari orang?"
"Gue bukan percaya sama orang itu, gue percaya sama lo, laporan dia hanya sekedar ucapan yang membuat gue semakin yakin, kalau lo nggak seburuk itu."
Savira mengembangkan senyumnya, dia semakin tak tega melihat keadaan kaki Panji karna dirinya.
"Santai aja, lagian itu udah kejadian empat bulan lalu, udah lama," ucap Savira.
"Apa lo masih deket sama Keysa?" lanjut Savira memberanikan diri, penglihatannya pasal kedekatan mereka membuat Savira bertanya-tanya.
"Gue cuma hargai, nggak ada keinginan buat dekat sama dia," jujur Panji.
"Tapi dia suka sama lo, apa lo nggak mau buka hati lo sebentar, siapa tau lo bisa suka."
Savira menelan ludahnya dalam-dalam, apa perkataannya barusan akan membuat Panji naik darah, karna setahunya, selama ini Panji sangat membenci kata membuka hati untuk Keysa.
"Nggak bisa."
"Kenapa? Apa lo masih suka sama gue?"
"Gue nggak tau masih suka atau nggak, karna sekarang hati gue lagi berusaha untuk nggak suka."
"Gue harap lo berhasil." Savira berusaha menyemangati.
"Mungkin, gue bisa buka hati buat dia, tapi...."
Ucapan Panji membuat Savira mendadak panas tiba-tiba.
"Ta... Tapi apa?" tanya Savira, apa Panji akan mencintai Keysa?