True Love

salisa
Chapter #17

Kebimbangan

Panji menatap langit-langit kamarnya dengan posisi berbaring di atas kasur, dia baru saja selesai makan malam dengan sang Bunda.

Jam masih menunjukkan pukul sembilan. Panji enggan untuk tidur, matanya masih sangat segar jika harus terlelap sekarang.

Malam ini sangat tenang, tidak seperti malam kemarin yang ribut dan menganggu karna adanya Habiby sang penggila tolak pintar. Entah apa itu tolak pintar, yang jelas Panji cukup sering mendengar kalimat tolak pintar diakhir pembicaraan Iby.

Panji juga tak ingin mengetahuinya, itu bukanlah hal yang penting untuk diketahui seorang Panji.

Disela rebahannya, seketika Panji teringat dengan ucapannya kemarin malam dengan Iby.

"Kalau gue kuliah di Bandung? Lo juga mau ke sana?"

Panji memutar otaknya agar terus berfikir, apa dia kuliah di Bandung saja? Apa dengan kuliah di sana dia akan mudah melupakan Savira? Entahlah, kepalanya terasa pusing terus memikirkan hal itu.

"Gue harus bilang sama bokap," lirih Panji. Sepertinya dia ingin memutuskan untuk berkuliah di Bandung, Panji yakin orang tuanya akan mendukung.

Panji beranjak dari kasurnya, berjalan ke arah bingkai foto yang terletak di meja belajarnya, terlihat gambar dirinya dan Savira di foto tersebut. Gadis itu memeluk Panji dengan senyum lebar ke kamera, dan Panji merangkul Savira lalu tersenyum ke arahnya.

Panji terus memandang foto tersebut, melihat wajah Savira yang sangat ceria dan bahagia, sayangnya kini Savira sudah milik orang lain.

"Gue rindu Vir," lirih Panji hampa.

Seketika Panji langsung teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu. Di mana saat itu Savira memeluk John sangat erat di atas motor dan tersenyum ceria kepada lelaki itu, memori yang sangat sulit Panji lupakan sampai saat ini.

"Arghss!!" Panji langsung refleks melempar keras bingkai foto tersebut ke sembarang arah, membuatnya hancur berkeping-keping karna lemparan Panji yang sangat kuat.

Panji hanya melihat pecahan itu tanpa ingin membereskannya, dia memilih berjalan ke atas kasur dan menghempas keras tubuhnya di atas kasur tersebut.

"Lebih baik gue tidur," ucapnya menutup wajah dengan bantal. Yaa... memang lebih baik dia tidur sekarang, dari pada emosinya memuncak tak keruan.

*****

Panji mengerjapkan matanya beberapa kali, kepalanya terasa berat, tenggorokan pun terasa kering. Perlahan Panji mendudukan tubuhnya dan melihat ke arah jam dinding.

"Jam empat?"

Panji langsung beranjak dari kasur, dia ingin pergi ke dapur untuk minum air putih.

*****

Panji mengernyitkan dahi saat tiba di depan dispenser, dia menghentikan gelasnya yang ingin diisi air minum, Panji melihat sosok lelaki yang tak asing baru keluar dari kamar mandi.

"Papa," panggil Panji, menyadarkan lelaki yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Sedang apa kamu," sahut Pak Bagas. Panji kembali dengan mengisi air di gelasnya lalu meneguknya sampai habis.

"Panji minum, Papa kenapa di rumah?" jawab dan tanya Panji.

"Papa baru pulang jam 2 tadi, lalu tidur sejenak habis itu mandi, nih Papa baru selesai," jelas Pak Bagas.

"Papa mandi 2 jam?" kaget Panji tak percaya, karna dia tahu sekarang sudah pukul 04 malam.

"Papa baru bangun jam 03:35 dan pergi mandi saat itu juga, berarti hanya 25 menit lah, emangnya Bunda kamu mandi 2 jam," ucap Pak Bagas menggelengkan kepala.

"Oh," angguk Panji mengerti.

"Kunci mobil sudah Papa letakan di tempatnya, kamu sudah bisa pakai nanti pagi," ujar Pak Bagas memberitahu.

"Mobil Papa emang udah baik?"

"Mobil Papa selalu baik, dia hanya terkena sial saja kemarin."

"Hmm. Iya."

Pak Bagas hanya membuang nafas pelan, lalu berjalan menuju kamarnya.

"Pa, bentar," cegah Panji. Pak Bagas menghentikan langkahnya, lalu menoleh.

"Apa?"

"Panji boleh kuliah di Bandung?"

"Kamu kenapa?" ucap Pak Bagas kembali bertanya.

"Ya... Panji mau kuliah di Bandung, kok nanya kenapa?" balas Panji tak mengerti.

"Bukannya kamu mau kuliah di Jakarta saja, Bundamu juga pernah bilang kalau kamu ingin kuliah bersama dengan Sav__"

"Papa tinggal jawab, boleh apa nggak?" potong Panji, tak ingin Pak Bagas melanjutkan perkataannya.

"Ya, boleh aja, kenapa nggak?" heran Pak Bagas mengerutkan keningnya.

"Oke, Panji akan kuliah di Bandung kalau diterima," ucap Panji bersemangat.

"Terserah saja." Pak Bagas langsung berlalu pergi begitu saja.

Panji tersenyum lebar, kemudian mengambil air minum lagi dan meneguknya habis, lalu pergi ke kamarnya.

Lihat selengkapnya