Panji berjalan menuju kamarnya lalu melemparkan tasnya ke kasur. Panji pergi ke kamar mandi, dia ingin mandi saat ini, tak perduli dengan fakta tentang bahayanya mandi di siang hari yang penting tubuhnya kembali segar.
Hingga satu jam lamanya, Panji akhirnya selesai mandi.
Panji langsung berjalan ke lemari, memakai kaus dan celana santai, lalu merebahkan tubuhnya di kasur.
Panji menghela nafas beberapa kali. Dia melirik ke arah jam dinding. Pukul 05 sore.
"Sampai kapan gue terus mikirin lo?" Panji memandang langit-langit kamarnya seolah ada wajah Savira di sana.
"Gue kangen banget Vir," lirih Panji.
"Wait?" Panji mengernyitkan dahi dan langsung bangkit dari kasurnya, lalu mendekat ke arah pintu kamarnya.
Panji mendengar suara bising dan tawa dari luar kamarnya. Apa mungkin ada tamu? Tumben sekali.
Tak ingin berlama-lama penasaran, Panji membuka pintu kamarnya dan melangkah ke arah suara, ternyata dari ruang tamu. Mengejutkan, ada Savira di sana.
"Itu Panji." Ibu Ika yang melihat keberadaan Panji langsung menunjuk ke arahnya. Semua menoleh, termasuk Savira.
"Sini Nji, ada tamu spesial," lanjut Bu Ika.
"Eh, Panji, sini dong gabung," panggil Bu Ranty tersenyum girang.
Panji masih terheran, sedang apa mereka di sini? Satu keluarga pula. Ada Pak Randy, Bu Ranty, Savira dan... ternyata tidak ada Davira. Entahlah, tidak berurusan dengan gadis kecil itu. Mereka mau ngapain? Mau undang acara penikahan atau bagaimana? Panji mendadak gugup sendiri, apalagi ada Savira.
"Nji, bengong aja, kelamaan nggak main ya sama Om," sahut Pak Randy.
Panji terkekeh pelan, lalu berjalan ke arah Pak Randy Dan Bu Ranty untuk menyalimi keduanya.
"Tumben Om, Tante. Ke sini?" ucap Panji membuka suara.
"Tante lagi kangen sama Bunda kamu, udah lama nggak ketemu," ucap Bu Ranty.
"Iya lho. Aku juga kangen banget sama kamu, jarang ketemu kita sekarang," sambung Bu Ika.
"Untung aja Om Randy mau temenin, aduh kangen banget pokoknya sama Bunda kamu." Bu Ranty tersenyum lebar.
Panji melihat Bu Ranty lekat, semakin lama wanita itu semakin pucat saja.
"Kamu itu sampai ke sini segala, padahal aku bisa ke sana, nggak usah repot-repot ke sini, kasihan Randy jadi semakin cemas," ucap Bu Ika.
Panji mengerutkan keningnya, merasa ganjal dengan ucapan Bundanya.
Drtt.. Drttt..
Ponsel Pak Randy tiba-tiba berdering, lelaki itu langsung mengangkat telfon tersebut.
Mereka mendadak diam, menunggu Pak Randy menyelesaikan telfonnya, takut bising.
"Hallo."
"Ah, iya. Siap."
"Iya sekarang."
"Iya, tenang aja."
Pak Randy menutup telfon tersebut lalu memasukkan kembali ke dalam sakunya.
"Ma, pulang sekarang aja ya," pinta Pak Randy. Sudah bisa ditebak telfon tersebut pasti urusan pekerjaan.
"Mama baru sebentar lho Pa, belum aja ngerumpi," decak Bu Ranty dramatis.
Panji maupun Savira hanya bisa menggeleng mendengar ucapan Bu Ranty.
"Papa harus ke kantor sekarang Ma, ayolah," mohon Pak Randy.
"Mama pulang naik taxi aja nanti sama Savira, lagian deket aja kok."
"Nggak boleh naik taxi, ini udah jam berapa, nanti kalian kenapa-kenapa," khawatir Pak Randy.
"Apaan sih Pa lebay banget, cuma 15 menit doang, lagian sama Savira, Mama nggak sendiri," ucap Savira malu melihat Papanya yang terlalu berlebihan.
"Berangkat aja Randy, nanti Panji yang anter," ucap Bu Ika menyahuti.
"Nanti anter ya, Nak," toleh Bu Ika pada Panji.
"Ah, Iya Bun," jawab Panji tersadar.
"Yang bener? Nggak ngerepotin Panji nanti," ucap Pak Randy, dia benar-benar segan.
"Kayak sama siapa aja ya ampun, udah tenang aja," balas Bu Ika.
"Iya Pa, Mama sama Panji aja nanti," sahut Bu Ranty.
"Ya udah kalau gitu, aku pergi ya, assalamualaikum...." Pak Randy langsung beranjak pergi dari hadapan mereka semua, terlihat dari wajah lelaki itu bahwa urusanya sangat penting sekali, hingga dia terburu-buru.