Savira dan Davira berjalan masuk ke dalam rumahnya sambil merangkul bahu satu sama lain.
"Sebelum kita menuju rencana, mari menuju dapur," bisik Davira, perlahan melepas rangkulan mereka.
"Hah? Ngapain ke dapur?" heran Savira.
"Isi tenaga dulu dong, gue mau cari roti," ucap Davira bergegas pergi begitu saja.
"Dasar perut gentong!" cibir Savira. Gadis itu memilih ke kamar Davira, ingin melihat kebenaran dalam ucapan Davira tadi.
Satu detik setelah membuka pintu kamar adiknya. Matanya terpana begitu melihat pemandangan yang berubah drastis, benar-benar tidak ada satupun oppa-oppa Davira yang terpajang di kamarnya.
"Wah! Dia bener-bener udah move on ternyata," takjub Savira menepuk kedua tangannya.
Sebenarnya Savira sendiri tidak terlalu mempermasalahkan hobby Davira dengan Koreanya. Karna jujur saja, Savira sendiri kagum dengan ketampanan para oppa, ya... tapi Savira tidak segila adiknya sampai harus mengutamakan mereka terus-terusan.
Bersyukurlah... Davira tidak lagi membuang uang sang papa hanya untuk membeli barang-barang k-popersnya.
Savira berjalan pelan ke kamar orang tuanya, sepertinya mereka belum ada keluar kamar, rumah benar-benar terlihat sepi jika tidak ada Savira dan Davira saat ini.
Perlahan Savira menempelkan telinganya ke pintu kamar orang tuanya, hanya ingin tahu saja, apa yang sedang mereka bicarakan saat ini, jika tidak ada pun juga tak apa.
"Mereka nggak di rumah?"
Savira lebih menempelkan telinganya lagi, agar suara sang Mama lebih jelas dia dengar.
"Iya, mereka lagi keluar, tenang aja."
Savira tak mengerti kenapa Papanya bicara begitu. Savira sangat tahu kalau 'mereka' itu adalah dirinya dan Davira. Lalu, memangnya kenapa jika mereka berdua tidak ada di rumah? Ucapan kedua orang tuanya terdengar lega saat mengatakan mereka tidak ada di rumah.
Apa mereka senang jika Savira dan Davira tidak di rumah, kenapa mereka begitu lega?
"Ah, mulai ngaco kan, gue," lirih Savira menepuk jidatnya pelan.
Savira berbalik saat mendapati seseorang menepuk pundaknya.
"Sttt... Diam," lirih Savira menatap Davira yang kini terdiam bingung.
"Emang ada apaan?" tanya Davira sangat lirih, ikut menempelkan telinganya seperti yang dilakukan Savira.
"Dokter itu nggak bercanda kan?"
Savira dan Davira saling bertatapan. Lalu sama-sama mengedikan bahu, tak mengerti.
"Sayang, apapun yang dia bilang, aku akan terus mendukung."
Kedua gadis itu semakin tak mengerti, ingin sekali mereka membuka pintu kamar itu, lalu meminta penjelasan. Lagi pula pintu itu tidak terkunci, sangat mudah jika mereka ingin membukanya. Tapi seketika Savira menahan, mencoba bersabar dengan kelanjutan ucapan orang tua mereka.
"Bagaimana jika mereka sudah tau? Pasti mereka sangat kecewa, aku nggak mau mereka sedih dan akhirnya menyalahkan kamu."
"Jangan pikirkan itu, aku baik-baik saja, mereka pasti paham, aku melakukannya juga untuk mereka."