Panji terdiam, tubuhnya mendadak kaku, dia sudah berada tepat di depan pintu kamar rawat inap Savira. Panji mengatur nafasnya dengan pelan, sedangkan Bundanya sudah geram melihat anaknya yang tak kunjung membuka pintu tersebut.
"Cepet Nji, Bunda capek berdiri dari tadi," tegur Bu Ika.
"Iya Bun." Panji memberanikan dirinya untuk membuka pintu tersebut.
Tatapannya hampa, ternyata benar, gadis itu masih setia tertidur bersama kasurnya.
Ya Tuhan... Panji ingin sekali memeluk erat gadis itu, melihat wajah Savira yang pucat, ingin sekali Panji memberikan kehangatan padanya. Panji sangat merindukannya. Panji ingin melihat keceriaan pada wajah gadis itu.
Dengan pelan Panji mengambil kursi yang ada di sana lalu dia taruh di samping kasur Savira dan mendudukinya.
"Apa yang ingin kamu lakukan sekarang?" tanya Bu Ika menyadarkan anaknya.
Panji hanya diam, tak menjawab pertanyaan Bundanya.
"Oh, mungkin kamu butuh waktu berdua dengan Savira, kalau begitu Bunda keluar dulu," pamit Bu Ika.
"Tunggu, Bunda mau ke mana?" cegah Panji. Apa yang Bu Ika pikirkan justru bertolak belakang dengan Panji.
"Mau keluar, ke mana lagi?"
"Jangan Bun, Bunda di sini aja," pinta Panji. Menyuruh Bundanya ikut duduk di sebelahnya.
"Lho? Kenapa? Bunda yakin kamu sangat merindukan Savira, nggak apa-apa, nggak usah berlagak nggak enak sama Bunda," ucap Bu Ika.
"Jangan, Bunda di sini aja, jangan tinggalin Panji berdua sama Savira," suruh Panji.
"Kamu kenapa? Kok jadi aneh gini?" heran Bu Ika.
"Panji nggak mau cuma berdua sama Savira, Panji takut."
"A... Apa?" Bu Ika tampak ingin tertawa. Dia memilih menuruti anaknya untuk duduk di sebelahnya.
"Kamu takut sama Savira? Sayang... Savira masih hidup Nak, ngapain kamu takut, dia bukan setan, kenapa kamu jadi penakut gini?" heran Bu Ika.
Panji sebal merasa dirinya ditertawakan, yang benar saja sang Bunda mengejeknya, sejak kapan Panji jadi penakut dengan yang begituan, emang Bundanya pikir, Panji itu anak baru lahir kemarin?
"Panji takut dosa Bun...," ucap Panji berusaha sabar.
"Do... Dosa?" bingung Bu Ika.
"Panji banyak belajar tentang agama selama di Bandung, nggak apa-apa kalau Bunda mau kaget, kaget aja, Panji nggak ngelarang," jelas Panji tak ingin terlalu serius.
"Iya, ini Bunda lagi kaget kok," angguk Bu Ika meladeni anaknya.
"Panji nggak mau bersentuhan lagi dengan cewek yang bukan muhrim, Panji takut dosa," lirik Panji pada Bu Ika.
Bu Ika benar-benar dibuat takjub setelah mendengar ucapan Panji. Bagaimana bisa anaknya mendadak alim seperti ini? Makan apa dia di sana?
"Bunda senang kalau perubahan kamu seperti ini, Bunda cuma sedikit kaget," jujur Bu Ika.
"Apa Bunda tau?" tanya Panji menaikan satu alisnya.
"Tau apa?" Bu Ika membalas menatap anaknya.
"Bunda harus pakai hijab, supaya Panji, Raka dan Papa nggak nanggung dosa Bunda," ucap Panji tanpa beban.