True Love

salisa
Chapter #42

Sah

"DOKTER! SAVIRA SADAAAR!" teriak Bu Ika langsung bergegas keluar ruangan.

Sedangkan Panji tak bisa menyembunyikan rasa senangnya, tubuhnya mendadak bergetar, tak mampu bergerak dari tempatnya. Dia hanya bisa menatap Savira yang kini juga menatap ke arahnya.

Tak lama kemudian seorang Dokter masuk dengan beberapa perawat. Mereka memeriksa keadaan Savira. Tak ada yang bisa diucapkan selain rasa syukur atas kesadaran gadis itu.

*****

Malamnya....

Semua orang berkumpul di kamar rawat Savira. Bu Ika juga sudah menghubungi Gandy atas kesadaran gadis itu. Gandy bilang dia akan meluncur ke Indonesia di esok hari.

"Lo baik-baik aja kan?" tanya Panji tak lepas memandangi Savira. Ingin sekali dia menggenggam tangan gadis itu, tapi lagi-lagi dia teringat dengan janjinya.

Savira mengangguk pelan, dia tak tau apa yang sudah terjadi. Dia hanya mengingat kecelakan itu, dan yang terakhir kali dipikirannya saat itu hanyalah lelaki di hadapannya ini.

"Kenapa bisa di sini? Nggak jadi kuliah di Bandung?" tanya gadis itu sangat pelan. Dia masih merasa lemas, tapi dia sadar dia baik-baik saja. Tak ada rasa sakit sedikit pun di tubuhnya.

Savira terdiam lama, menunggu Panji yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Panji mengeluarkan kertas yang selalu dia bawa kemana pun setelah kertas itu berada padanya. Lalu dia tunjukan pada Savira.

"Lo nggak bohong kan?" tanya Panji penuh harap.

Savira mengambil kertas yang diberi Panji lalu melihatnya. Perlahan Savira melirik ke arah Panji, lalu menggeleng pelan. "Gue nggak bohong," lirih gadis itu.

Tak ada yang bisa Panji rasakan selain kebahagian dalam hatinya setelah mendengar ucapan Savira.

"CIEEE...."

Panji dan Savira tersentak, sedikit malu karna baru sadar tidak hanya mereka di ruangan itu.

Tapi Panji tak perduli, ada yang ingin dia ungkapkan saat ini juga. Tak perlu menunggu waktu lagi. Dia sangat ingin mengucapkannya sekarang, tak perduli dengan beberapa orang yang melihat mereka. Justru itu yang Panji inginkan.

Panji menatap Savira, mengeluarkan kotak berukuran kecil warna merah lalu membukakannya untuk Savira. Entah sejak kapan benda itu sudah ada di sakunya. Panji benar-benar sudah mempersiapkan semuanya.

"Lo mau? Nikah sama gue?"

Savira merasa tubuhnya akan melayang saat ini juga. Dia sangat malu sekaligus senang. Tentu dia mau.

"TERIMA! TERIMA!" Sorakan itu membuat Savira semakin malu. Perlahan Savira menatap ke arah Panji, lalu mengangguk dengan pelan.

"Iya. Aku mau."

*****

Panji mengedarkan pandangannya, mencari-cari sosok wanita yang sudah tinggal satu minggu bersamanya di rumah itu.

Panji baru bangun, dia kembali tidur saat selesai solat shubuh. Entahlah dia sangat ngantuk sekali saat itu.

Panji berjalan ke ruang tengah, menemukan sosok wanita yang tengah dia cari. Panji tersenyum melihatnya lalu Panji ikut duduk di sebelahnya.

"Baru bangun?" tanya Savira melirik Panji.

"Kenapa nggak bangunin?" Panji meletakan dagunya di bahu Savira dan menatap wanitanya itu.

"Panji gue geli!" Savira menjauhkan tubuhnya dari Panji.

"Lo bau! Sana mandi!" suruh Savira mendorong lelaki di sampingnya.

"Enak aja! Nih coba cium, gue wangi kok," ucap Panji menyodorkan pipinya pada Savira.

"Ih! Jangan dekat-dekat!" Savira langsung beranjak dari sofa meninggalkan Panji.

"Udah nikah aja masih begitu!" sebal Panji hanya bisa menggeleng.

Lihat selengkapnya