Savira dan Panji melangkah berjalan berdua. Menikmati pemandangan sore hari yang begitu indah.
Mereka duduk di taman saat cukup lelah karna terlalu lama memutari komplek rumah mereka. Ya, hanya memutari komplek rumah tidak ke mana-mana.
"Capek, pengin minum," ucap Savira setelah duduk di kursi panjang yang ada di taman.
"Gue beliin bentar." Panji langsung beranjak membeli minuman tanpa menanyakannya pada Savira.
Savira mengiakan saja dan memilih menunggu Panji datang. Seketika Savira teringat sesuatu, dia juga pernah ke taman di sore hari seperti ini bersama John, mantanya. Savira baru sadar sekarang, kenapa dia selalu menolak keinginan John, perasaannya benar-benar beda jika dengan John.
Sedangkan dengan Panji, benar-benar tidak ada keinginan untuk mengelaknya, mungkin jika saat itu Panji meminta izin dulu, dia akan mengiakan saja.
"Mikirin apa?" Panji langsung duduk di samping Savira sembari menyodorkan botol minuman dingin padanya.
"Makasih, bukan apa-apa," geleng Savira, menerima botol minuman dari Panji lalu segera meminumnya.
Panji mengeluarkan ponsel di sakunya, ponselnya berdering.
"Waalaikumsalam, ada apa?" tanya Panji mengangkat benda pipih itu ke telinganya.
Savira langsung menoleh, dia pikir suaminya itu berbicara sendiri. Savira membiarkan saja Panji lanjut menelfon, dia hanya mendegarkan.
"Yang bener lo? Yah berarti gue nggak hadir dong?"
"Serius lah! Gue nggak suka sama Citra."
"Hah? Dia masih baper? Lo nggak bilang emangnya?"
"Dasar lo! Bikin panik aja."
"Tuh kan, gue udah bilang pasti Citra bakal dapat yang lebih baik dari gue."
"Oh oke. Iya bye."
Setelah selesai Panji memasukan kembali ponselnya. Panji terkejut saat melihat Savira yang menatapnya dengan murka.
"Ke... Kenapa Vir?" heran Panji.
Pakk! Savira langsung memukul bahu Panji tanpa alasan.
"Gue ada salah? Maaf kalau gitu," ucap Panji mengelus pipi Savira.
"Apa yang baper-baper? Kenapa Citra-Citra?" tanya gadis itu melototkan kedua matanya.
"Citranya satu aja Vir, jangan banyak-banyak," tawa Panji. Gadis itu cemburu kah? Ternyata dia mendegarkan sejak tadi?
"Bukan siapa-siapa, temen itu," ucap Panji lembut.
"Lo nggak bohong?" tanya Savira menaikan satu alisnya.
"Nggak Sayang, tadi Iby yang telfon," ujar Panji menatap gadisnya hangat.
"Oh!" ketus Savira langsung memalingkan wajahnya.
"Gue seneng kalau lo cemburu," senyum Panji.
"Kepedean! Gue cuma tanya," elak Savira.
"Ya udah, ayo pulang udah mau senja," ajak Panji berdiri dari duduknya, mengulurkan tangannya pada Savira.
Savira menurut saja, tak ingin memperpanjang masalah, tak mungkin jika Panji berbohong. Mungkin memang teman.
Mereka pun beranjak untuk pulang ke rumah.
*****
Panji tak mengerti dengan sikap Savira yang mendadak berubah. Setelah dia pulang usai melaksanakan solat isya di mesjid, Savira tak ada berbicara padanya. Memang mereka baru sebentar menikah, tapi Panji sadar bahwa gadis itu sepertinya marah, mereka sudah lama bersahabat, masing-masing dari mereka tidak mungkin bisa menyembunyikan sesuatu dari satu sama lain.
"Lo lagi PMS?" tanya Panji tak tahan didiamkan.
Savira hanya menggeleng, dia langsung beranjak pergi ke kamar, meninggalkan Panji yang masih menatapnya bingung.
Panji hanya bisa mendengus pasrah, dia tak tau kesalahannya apa. Memang dia cenayang apa tiba-tiba bisa membaca pikiran orang lain? Berusaha mengerti isi hati wanita? Susah bro!
Panji berniat menyusul Savira, dia ingin membujuk gadis itu sampai dia mau berbicara lagi padanya.
*****