Disuatu teras, depan ruang praktikum sekolah, Raju dan Eka sudah menunggu. Lalu diperkenalkan kepada kami anak pramuka yang dimaksud.
Perawakannya biasa saja. Tingginya sedang, dan berkulit sawo matang. Saat itu dia mengenakan kain sarung yang diselempangkan di pundaknya. Mungkin tadi habis sholat maghrib, beliau tetap mengenakan kain sarung itu ke sekolah.
Sepintas terkesan tidak mungkin rasanya dia bisa memanggil penghuni Telaga Pelangi.
Untuk tidak memperpanjang waktu, Raju membuka pintu ruang praktikum tersebut. Sebelumnya sudah dapat izin dari penjaga sekolah. Entah bagaimana caranya, yang jelas penjaga sekolah percaya kepada ketua kami.
Setelah kami masuk semuanya, pintu ditutup. Eka meminta lampu dimatikan. Cukup dengan lilin saja.
Raju mengeluarkan lilin dari dalam tas pinggangnya. Ukurannya tidak besar. Sebelumnya sudah dikonfirmasi oleh Eka saat ritual nanti.
Dua meja belajar kami gandeng jadi satu. Lalu, Eka duduk di atasnya mengambil posisi duduk bersila dengan lilin di depannya. Dan kami mengitari setengah lingkaran sambil tetap berdiri dengan jarak tidak terlalu jauh.
Kami memperhatikan dengan penasaran. Tak lama, terlihat matanya yang bundar mulai mengatup. Dari bibirnya terlihat seperti melafazkan kalimat. Seperti memanggil. Tubuhnya mulai sedikit bergetar.
Kami sepertinya larut dengan ritual ini. Tidak sampai dua menit, tiba-tiba Eka merebahkan dirinya ke belakang (meja) dengan gerak tidak terlalu cepat. Hanya beberapa detik saja, bangkit lagi dengan posisi tetap duduk bersila.
Mata kami tidak berkedip sedikitpun. Jantung mulai berdegup kencang. Kami sempat terkaget. Tegang bercampur penasaran.
Cahaya lilin kecil menambah magis suasana. Belum lagi suara jangkrik yang sedikit bising menambah suasana lumayan mencekam.
Saya merasakan ada sesuatu yang lewat. Sesuatu angin lembut lewat di atas kepala. Saat itu berpikir apakah angin itu wujud dari Kakek penghuni Telaga Pelangi atau angin biasa.
Saya melirik ke mata teman-teman. Sorotan mata mereka tak beranjak dari Eka. Apakah mereka merasakan juga?
“Apa kabar dan apa gerangan memanggil?”, ujar Eka ‘kakek’ yang suaranya sedikit berobah nadanya. Tapi masih bisa mendengar dari suara asli Eka yang mulai berat. Mungkin ini yang dikatakan ‘roh’ penghuni alam lain yang masuk ke raga manusia (?)
Hening sesaat. Saya agak heran, kakek ini kok berbahasa Indonesia. Mungkin saja diam-diam kakek ini mengikuti perkembangan tanah air. Bisa jadi kali, bathin saya dalam hati.
“Ya Kek…, kabar kami baik”, jawab Raju lumayan pe-de.
Raju mengutarakan maksud dari pemanggilan ini yang seterusnya minta izin memasuki kawasan Telaga Pelangi di Gunung Marapi.
Lalu, sang Kakek melihat kami satu per satu. Sorot matanya terkesan kosong dan kaku. Bergidik juga kalau dilihat lama-lama. Kemudian kepala kakek itu mengangguk-angguk pelan.
Masih dalam posisi bersila dengan kedua tangan diatas lutut, sang kakek menjelaskan Telaga Pelangi, ia penguasanya. Bila mau kesana memang harus ada izin darinya. Tidak sembarang orang yang bisa masuk ke sana.
“Boleh, saya izinkan. Tapi dengan syarat harus Genap tapi tidak boleh berdua”, terang kakek itu dengan suaranya terdengar datar dan berat.
“Syarat lainnya, tidak boleh membawa golok, parang, atau pisau”, lanjut kakek ini menerangkan persyaratan lainnya. Termasuk juga bila sudah sampai, hanya boleh melihat saja dan tidak boleh terlalu dekat.
Saat itu kami hanya diam membisu mendengar penjelasan sang Kakek.
“Maaf Kek, apakah boleh membawa kamera untuk berphoto?”, saya coba menyela bertanya. Sekalian bermaksud menguji, apakah kakek ini tahu dengan kamera apa tidak.
“Itu juga tidak boleh”, jawab Kakek datar.
Saya heran juga, Kakek ini berarti tahu pula dengan kamera atau tustel. Kalau tentang golok/ parang itu bisa dimaklumilah.
Rasanya persyaratan ini cukup mudah dirasa. Mungkin pikiran saya ini juga dipikirkan oleh teman-teman. Sempat terpikir, kalau syarat itu membawa sesajen seperti ayam, telor, aneka bunga, kemenyan dan lain-lain.
Lalu, saya coba lihat muka Kakek ini lebih tajam lagi. Di sela cahaya lilin, sorot matanya masih tetap seperti tadi, terkesan kosong dan kaku.
Kemudian, Bang Temok, yang berdiri paling pinggir diantara kami, bersuara,” Kek, hanya itu syaratnya?” Terlihat beliau pun nampak penasaran.
“Hanya itu saja Kek?”, saya pun menimpali setelah melihat Kakek masih diam.
Menunggu jawaban, Kakek ini terlihat mengatupkan jemari kedua telapak tangannya.
“Ya, ada lagi..”, seperti menggantung kalimatnya.
Kembali hening sesaat. Ruang kelas praktikum terkesan mencekam. Belum lagi suara khas hewan malam menambah auranya.
“… Tolong ambilkan air putih!”, lanjut Kakek memberi perintah. Tidak disebutkan apa pakai gelas atau piring, daun, atau tempurung.
Raju pun bergegas pergi ke rumah penjaga sekolah yang terletak di belakang. Berbatasan dengan dinding pagar pembatas sekolah. Ada sekitar 3 meter lebih tinggi pagar temboknya.
Biasanya, kalau siswa laki-laki terlambat datang ke sekolah, pagar tembok itu sebagai jalan potong kompas untuk bisa masuk. Begitu juga kalau ingin cabut. Memang tidak mudah untuk dipanjat. Butuh ekstra tenaga dan keberanian.
Tak lama, Raju sudah kembali dengan membawa gelas berisi air putih. Dan tidak lupa menutup pintu dan menguncinya kembali. Sempat penjaga sekolah ingin tahu tentang apa yang kami lakukan dalam ruang praktikum.
Raju pun mencegah. Memang sebelumnya sudah dikabarkan bahwa ada sesuatu hal yang perlu kami saksikan. Dan Raju pun juga meminta agar tidak diberitahu ke siapa-siapa.
Gelas berisi air putih diberikan ke sang Kakek. Tangan kanan Kakek menerimanya, lalu diletakkan kembali di atas meja.
“Tuliskan nama-nama kalian !”, terdengar lagi perintah Kakek.
Dan Raju pun bergegas kembali memeriksa laci meja. Beruntung ada buku tulis dan pensil ditemukan di atas lemari alat praktikum. Lalu kertas buku yang polos di sobek selembar. Kemudian, nama-nama kami ditulis menggunakan pensil tadi.
Urutannya mulai dari; saya, Raju, Bang Temok, dan Zaldi. Sesuai dengan jumlah kami yang berempat. Klop sudah jadinya.