[true-story] Misteri Telaga Pelangi

Firdaus
Chapter #5

Pra-Persiapan

Kenapa kami sengaja tidak memberitahukan kepada siapa pun? Adalah tak lain, khawatir ada pendaki lain yang mencoba mengikuti /membuntuti dari jauh. Dan itu bisa saja mengganggu rencana yang telah disepakati dengan sang Kakek.

Dua hari sebelum berangkat, saya berkunjung ke rumah Bang Temok. Diseputaran kawasan rumahnya, tidak sedikit juga kawan-kawan lama es-de dan es-em-pe saya tinggal.

Kebetulan beliau sedang di rumah. Dengan berkaos singlet dia muncul dari belakang rumah. Mungkin cuaca masih terik menjelang sore itu, ia hanya mengenakan singlet saja. Lalu kami duduk di teras depan rumahnya yang semi permanen.

Singkatnya saya menanyakan konfirmasinya untuk persiapan misi ke Telaga Pelangi. Sebelum dijawabnya, beliau menanyakan perihal teman-teman lain. Dan saya jawab, sudah oke.

Gor, mohon maaf. Dengan berat hati saya batal berangkat, karena ada Ujian Negara minggu depannya”, ujarnya dengan sedikit rasa penyesalan.

Saya yang mendengar itu sontak saja kecewa. Walau bisa diterima alasannya, tapi kenapa menjelang limit hari H baru diungkapkan?

Tapi saya tidak bisa pula protes terlalu jauh. Karena bagaimana pun pendidikan tetap nomor satu.

Dia menyarankan agar misi ini ditunda dulu di bulan depan. Dan mengulang kembali ritual itu. Sarannya itu saya pertimbangkan. Tapi, rasanya pun tidak mungkin. Bulan depan saya sudah Ebtanas pula.

Tak lama setelah itu, saya pamit. Tak lupa mengingatkan kembali agar jangan diceritakan ke siapa-siapa dulu.

Bagaimana dengan Zaldi?

Esok harinya, bakda Jumat, saya menjumpai Zaldi ke rumahnya. Sengaja tidak saya tanyakan saat waktu di sekolah. Meski sama-sama jurusan A-2 tapi beda lokal. Kami hanya pernah satu lokal saat di kelas dua.

Saya berharap dia tidak membatalkan juga. Sampai di rumahnya, beliau memang ada dan sedang bersiap pula keluar. Terlihat dari dia menyandang tas.

Ternyata, lagi-lagi jawabannya hampir sama dengan Bang Temok, batal. Alasannya menjaga rumah, karena kedua orang tuanya besok mau pergi ke kampung ada urusan penting.

Sorilah Gor, gak bisa pergi jadinya”, ujarnya dengan nada menyesal. Ia menceritakan rencana orang tuanya yang mendadak. Sebagai anak yang paling tua tentu tidak mungkin meninggalkan adik-adiknya di rumah.

Dia menanyakan juga tentang Bang Temok. Saya jawab juga batal dengan alasan mau ikut ujian Negara.

Jadi, kalau berdua saja yang berangkat, kan itu gak boleh?!?”, tanggapannya lagi. Tapi seakan menyuruh membatalkan misi ini yang memang terkesan ‘gila’.

Ya Zal, tengok dululah nanti. Aku jumpai Raju dulu. Batal atau tundanya nanti dipikirkan”, ujar saya dengan rasa kecewa juga. Zaldi tersenyum kecut. Ia sebagai wakil ketua II di Sispala kami. Dan saya sebagai wakil ketua I.

Lalu saya pamit dan bersiap menuju rumah Raju. Sebelumnya singgah ke wartel dulu yang ada di pinggir jalan, untuk menelponnya dan memastikan ada atau tidak di rumah.

Yang ditelpon, ibunya yang menjawab. Menurut ibunya, sejak jum’atan belum pulang. Mungkin bentar lagi pulang menjelang sore. Ibunya juga menyarankan kalau mau ke rumah, datang saat sore nanti.

Waktu menunjukan sekitar pukul setengah tiga siang. Di suatu jalan dekat jembatan, saya berhentikan motor. Membeli sesuatu di toko yang sejak tadi belum sempat dibeli.

Selesai belanja, saya duduk di pinggir sungai sambil menunggu sore menjelang. Sungai ini melewati sekolah kami. Terlihat, bebatuan di tengah sungai yang terlihat tidak begitu dalam. Di tepi sungai, terlihat beberapa orang memancing ikan.

Ada 30 menit lebih saya duduk di pinggir sungai ini. Memikirkan kembali soal teman yang membatalkan misi. Kemudian berpikir mencari penggantinya. Tapi, itu nanti saja dibahas dengan Raju.

Lalu saya lanjutkan lagi perjalanan dengan laju yang pelan. Mengambil jalan pintas lewat permukiman yang tembusnya nanti ke jalan besar By-Pass.

Dekat sinilah rumah Raju berada. Kalau jarak dari rumahnya ke rumah saya ada sekitar ± 8 km.

Sampailah di rumahnya. Di halaman yang tidak terlalu luas terlihat aneka bunga dan tanaman hias dalam pot serta beberapa pohon di samping rumah. Di teras samping terlihat motor astrea prima terparkir.

Mudah-mudahan ini anak sudah di rumah. Biasanya kalau dia pergi sering membawa motor bebek itu. Ternyata benar, terlihat dia keluar dari dalam rumah. Mungkin suara knalpot motor saya yang dia tanda.

Woii Gor, aku barusan juga pulang”, ujar Raju menyongsong saya di halaman rumahnya. Motor saya parkirkan di teras samping karena saat itu sudah mulai agak mendung. Pertanda mungkin akan hujan.

Kami duduk di beranda samping. Singkatnya kujelaskan semua hasil dari pertemuan dengan dua teman tadi. Ada guratan kecewa terlihat dari wajah Raju.

Lihat selengkapnya