Sebelum berangkat besok, malamnya saya cek kembali perlengkapan dan peralatan yang akan dibawa. Logistic untuk kapasitas 2 hari sudah ready. Tak lupa bagian yang tak kalah penting, yaitu peta topografi dan kompas. Dan, saya yakin hal yang sama diterapkan oleh Raju.
Sempat ditanya oleh ibu apa mau mendaki gunung lagi. Saya jawab jujur saja, memang besok mau naik gunung. Tapi tidak mengatakan misi mistis Telaga Pelangi.
Soal hobi ini, sang ibu memang sepertinya sudah mulai mempercayai anaknya. Mungkin dikarenakan, tiap pergi pulangnya tetap selamat dan sehat wal afiat. Hanya pesannya saja yang selalu diingatkan agar tetap bisa menjaga diri. Dan jangan sombong. Ingat selalu Tuhan. Itu saja.
Sebelumnya memang agak nyinyir kalau saya sudah kemas-kemas untuk ke gunung atau kemping. Maklumlah namanya juga seorang ibu. Perhatian lebih wajar diberikan kepada anak laki-lakinya yang masih remaja.
Lambat laun nyinyiran itu mulai berkurang. Mungkin juga karena melihat cara saya membersihkan, merawat dan merapikan perlengkapan sampai cara menyusun peralatan yang disimpan dalam lemari khusus. Tapi saya akui juga, perlengkapan dan peralatan hampir semuanya disubsidi oleh Ibu.
Ada kejadian lucunya. Suatu ketika, saya pulang agak terlambat beberapa hari sepulang mendaki gunung. Ketika itu pernah tersesat di Gunung Talang. Tidak lama sih, hari itu juga kembali menemukan jalan.
Pulang dari gunung, saya singgah ke rumah teman dulu di Padang Panjang. Dan menginap semalam disana. Esoknya baru pulang ke Padang.
Ketika sampai, saat baru duduk diteras rumah, bukannya ditanya kenapa telat pulang, malah ditanya “berapa sendok yang wa-ang bawa?”
Pertanyaan yang terkesan lucu dan menggemaskan dirasa. Sudah pasti, saya terbawa ketawa jadinya. Biasanya kalau saya kemping atau mendaki gunung, bawa sendok dari dapur itu paling banyak 2 buah saja. Ditambah dengan gelas dan sendok melamin masing-masing 2 buah yang saya beli dari hasil uang jajan yang ditabung.
“Yaah, mama... Anak baru pulang kok ditanya sendok siih..?”, gitulah kira-kira saya menanggapi. Dan ibu saya pun terbawa ketawa juga akhirnya.
Selesai sudah berkemas. Tas karel 50 liter warna merah merk Alp**a, saya letak dalam kamar. Lalu, saya ke meja belajar. Ambil kertas buku dan menulis pesan buat seseorang yang bisa dipercaya.
Pesan surat ini menyampaikan bahwa saya dan teman (Raju) naik Gunung Marapi, Sabtu ini.
Misi rahasia (Telaga Pelangi). Tolong jangan beritahu siapa-siapa sementara waktu. Jika kami tidak ada kabar berita dalam 3 hari, tolong kabarkan ke teman-teman lain untuk SAR. Sebelumnya jumpai Eka anak pramuka es em a 4, kelas 1.
Surat kecil itu saya lipat. Besok sepulang sekolah akan saya berikan kepadanya. Sebenarnya ada juga yang lain bisa dipercaya, tapi dia lebih saya sukai.
Esoknya, Sabtu proses belajar mengajar di sekolah tetap seperti biasa. Saat jeda keluar main, berjumpa dengan Zaldi juga biasa saja. Seolah-olah tidak ada kejadian yang perlu dibahas. Hanya saja dia sedikit mengatur jarak.
Kebetulan hari itu pulang agak cepat dari jadwal biasanya. Ada rapat majelis guru rupanya. Ketika pulang saya cari Zaldi dan berjumpa di koridor menuju keluar.
Lalu saya tarik agak menjauh dari bising suara teman-teman yang begitu gembira pulang cepat.
“Zal, kami putuskan berangkat berdua sama Raju. Tolong tetap jaga rahasia ya. Jika dalam 3 hari tidak ada kabar berita tolong beritahu Eka dan senior di bundaran”, ucap saya dengan suara yang dipelankan tapi dengan penekanan.
“Baiklah Gor, tetap berhati-hati. Aku sudah menduga juga akhirnya kalian jadi pergi. Aku percaya dan doakan semoga baik-baik saja”, Zaldi menanggapi dengan perhatian.
Dan tak lupa juga dia menawarkan logistic yang ada di rumahnya. Tapi saya tolak halus dengan alasan sudah ada untuk stok 2 hari.
Kami berjalan beriringan sampai ke gerbang pintu pertama. Zaldi lalu mengambil arah ke area parkir kendaraan. Sebelum itu mengangkat tapak tangan kanannya ke saya sebagai salam. Toss.
Dan saya langsung menyusul teman-teman. Bareng jalan kaki keluar melalui gang senggol di samping sekolah kami yang berdinding 3 meter lebih itu.
Teman-teman sekolah tidak ada yang tahu. Dan tidak pula mengetahui suatu peristiwa yang bakalan heboh nantinya. Itu pikir saya dalam hati. Sementara gelak tawa dan canda terus menghiasi langkah-langkah kami, para siswa generasi penerus bangsa.
Sesampai di luar, di pinggir jalan besar saya dipanggil oleh seseorang. Ternyata anak mahasisiwi STMIK. Terlihat sejumlah diktat di dekapan dada dan tas yang disandangnya. Seperti baru pulang kuliah nampaknya.
Saya mengenalnya dan sering jumpa di lokasi tempat mangkal anak-anak pecinta alam di bundaran, Pasar Raya.
Lalu ia mengatakan nanti sore mau naik Gunung Singgalang. Cewek mahasiswi itu mengajak saya untuk ikut.