Selepas Dzuhur, kami pamit sama ibu. Dan tak lupa beliau mengingatkan kembali untuk hati-hati dan tidak sombong serta ingat Tuhan.
Jarak dari rumah saya ke terminal bus tidak terlalu jauh. Dengan jalan tidak terburu-buru, 10 menit sampai. Gaya dan langkah kami dengan menyandang tas karel cukup menarik perhatian orang di pinggir jalan.
Sampai di terminal, waktu menunjukkan pukul 1 siang. Suasana terminal bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) Lintas Andalas terlihat lumayan ramai.
Saya melihat bus yang bersiap keluar dari pintu terminal. Kebetulan jurusan ke Kota Batusangkar, ibu kota Kabupaten Tanah Datar yang dijuluki sebagai Kota Budaya.
Langsung kami naik dan masuk ke dalam bus, setelah sebelumnya tas dimasukkan ke dalam bagasi samping bus. Masih separuh penumpangnya. Kami menempati bangku kosong di bagian tengah bus.
Terdengar lagu-lagu pop 80-an mengalun dari pita kaset tape-recorder bus. Di seberang bangku sebelah kanan, seorang bapak paruh baya, ikut menyanyi mengikuti irama music lagu itu. Mungkin teringat masa-masa mudanya. Dan, music lagu memang dapat membuat orang jadi ceria dan semangat. Tidak mengenal usia.
Bus melaju pelan. Menyusuri kawasan pantai Padang. Kawasan salah satu spot wisata yang banyak dikunjungi. Di persimpangan sebelum lampu merah, yakni simpang Olo Ladang bus berhenti. Menunggu penumpang yang lain.
Di dekat persimpangan ini, juga sebagai lokasi ngumpulnya anak-anak pecinta alam. Biasanya mereka menunggu bus dari sini sebelum berangkat mendaki. Saat sore sudah terlihat mereka dengan tas ransel atau karel.
Satu persatu penumpang mulai bertambah. Lebih dominan kaum hawa dan anak-anak. Bus melaju lagi dengan pelan. Terus belok kiri masuk jalan Veteran.
Bus masuk ke SPBU, untuk mengisi minyak. Tak lama sopir pun berganti dengan pria usia 40-an. Berpenampilan rapi dengan baju kaos berkerah. Di atas kepalanya bertengger kacamata hitam. Terlihat keren dan gagah nih pak sopir.
Dan yang diganti, rupanya sopir ‘hoyak’, julukan bagi sopir yang bukan sopir asli. Dia hanya membawa bus untuk memutar saja sambil mencari penumpang.
Dan tentu dapat tips-lah dari sopir tersebut. Begitulah semacam ‘norma’ yang berlaku di terminal bus. Meskipun ada juga sopir hoyak yang tidak memiliki Sim B umum.
Selepas keluar dari Kota Padang, bus mulai melaju lumayan kencang. Sekali-kali menyalip kendaraan di depannya. Wou, jago nih sopir, pikir saya.
Kulihat si Raju mulai tertidur. Mungkin kena angin dari jendela yang tidak terlalu ditutup membuatnya cepat terbuai. Kubiarkan saja dia nikmati tidurnya. Dan saya menikmati alunan musik lagu dari tape bus.
Siang itu terlihat cerah. Bus mulai menuruni kawasan Kiambang. Sawah-sawah terhampar membentang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Disini saya kembali mengingat cerita yang disampaikan Raju.
Dari sini terlihat Gunung Marapi dikejauhan. Kokoh dan anggun. Ada awan-awan kecil bertebaran di leher gunung. Indah sekali nuansanya. Dalam bathin saya berujar, Kek kami sedang menuju kesana.
Music sudah berganti lagunya sejak lepas dari batas kota. Lagu suara artis-artis 90-an. Ada, Nike Ardila, Anggun C Sasmi, Yopie Latul, Yuni Shara, Anie Carera, Ella, Yosi Lucky, de el-el. Sang sopir nampaknya tahu selera.
Bus memasuki kawasan Lembah Anai, yang terletak di kaki Gunung Tandikek. Hawa dingin mulai terasa. Lembah Anai terkenal dengan air terjunnya.
Dekat air terjun membentang jembatan lintasan kereta api di atas jalan raya. Lintasan kereta api yang mempunyai nilai sejarah karena dibangun sejak zaman kolonial Belanda.
Tidak jauh dari sini ada tugu monument perjuangan. Berada dekat Bukik Tambun Tulang. Disini pernah terjadi perjuangan heroic para pejuang Repoeblik melawan Belanda kala itu. Banyak pejuang yang gugur. Disebut-sebut sungai yang ada dekat sini laksana sungai darah karena banyak pejuang yang dibantai oleh Belanda disini.
Bus berjalan pelan. Lalu, naik dua orang anak laki-laki. Ditaksir usianya masih sekitaran anak SMP. Sigap mereka naik. Mungkin sudah terbiasa.
Mereka penjaja asongan makanan khas dari jagung dan telor asin. Saya lihat Raju terbangun mendengar suara mereka menjajakan jualannya.
“Pargede-pargede… pargede. Limo singgik- limo singgik”, sorak mereka kepada penumpang bus. (Limo singgik = Lima seringgit / Rp. 250,-)
Banyak juga yang membeli. Saya pun membelinya dengan 1 telor asin. Lumayan nanti dimakan pake mi di gunung. Dan selembar kertas seribu rupiah saya serahkan.
Sesampai di Padang Panjang, bus berhenti sesaat. Banyak juga penumpang yang naik. Tapi mereka hanya bisa duduk dibangku serap. Udara dingin makin terasa yang masuk dari celah jendela.
Maklum, Kota ini diapit tiga gunung, yakni; Tandikek, Singgalang, dan Marapi. Hamparan sawah, ladang, dan permukiman terlihat di kaki bukit dan gunung. Kawasan yang sangat subur, yang tentunya anugerah dari Tuhan.
Di kota ini terletak sekolah /pesantren modern pertama dan sebagai salah satu yang tertua di Indonesia, yakni sekolah Diniyah Putri. Didirikan pada tahun 1923.
“Berapa lama lagi nyampe, Gor?”, tanya Raju tiba-tiba. Saya jawab, “paling 20 menit lagi, kalau gak macet”.
Kembali bus berjalan santai. Karena saat itu arus lalu lintas dalam kota sedikit padat. Maklum, di hari Sabtu ini banyak yang pergi berlibur dan melintas di kota yang berjuluk Serambi Mekkah ini.
Selepas keluar dari Padang Panjang, jalan mulai agak sempit. Kendaraan tidak bisa leluasa memotong. Disamping menanjak juga berkelok-kelok. Bila tidak hati-hati, jurang disebelah kanan siap menanti.
Tak lama kemudian, sampailah kami. Bus berhenti dekat simpang. Bus ini lumayan cepat nyampainya dari yang saya perkirakan. Baguslah, batin saya.
Lalu kami turun dan mengambil segera tas dalam bagasi bus. Saat itu turun pula seorang ibu dengan dua anaknya yang masih kecil-kecil.
Sempat juga si ibu itu menanyakan kepada kami hendak kemana. Dijawab Raju mau mendaki gunung. Agak heran ibu itu melihat kami berdua saja. Lalu basa-basi menawarkan untuk mampir dulu ke rumahnya. Kami pun menolak halus.
Setelah bus berlalu, masih di simpang kami duduk santai sejenak di pos ronda. Di depannya ada kedai. Teringat lagi saya, saat turun gunung ke sini, Pariangan pasca Idul Fitri lalu.
Kami yang lumayan banyak terpaksa menginap disini, di kedai yang menyatu dengan rumah. Karena tidak dapat mobil yang ke Padang. Waktu itu sudah lewat sore. Esok pagi baru dapat mobil ke Padang.
Gunung Marapi terlihat samar-samar dibalik kabut dan awan. Kami pun jadi lirikan mata orang dikedai. Salah satunya sempat menanyakan hendak kemana. Ya, saya jawab saja mau mendaki gunung.
Sambil menaikan tas karel ke punggung, kami pamit permisi dengan orang di kedai tersebut. Kedai tempat sarapan pagi bersama teman-teman kala itu.
Jalan aspal langsung menanjak. Sepertinya baru diaspal. Terasa baunya yang masih belum hilang. Pelan namun pasti kami berjalan menyusuri jalan aspal ini.
Kami menuju dusun (jorong) Guguak, dusun yang terletak di kaki gunung. Ada sekitar 3 km menuju kesana.
Tak jauh dari simpang tadi, terletak makam panjang dan batu batikam. Saya menjelaskannya kepada Raju. Dan menunjuk simpang sebelah kiri menuju sumber air panas.
Mulai terasa ngos-ngosan setelah beberapa puluh meter berjalan. Kami istirahat sebentar. Kiri kanan jalan berjejer permukiman penduduk.
Area persawahan terbentang luas dibalik rumah warga. Mata yang memandang pun benar-benar segar berasa.