Sebelum keluar, kami sampaikan bahwa kami akan balik ke sini. Lalu, kami diiringi sampai teras depan. Kemudian, berfoto dulu bersama. Kamera tustel tetap dibawa.
Nanti, ditinggal di Tungku Tigo. Emil yang akan menjaganya nanti. Ya, akhirnya anak ini pergi tapi sebatas Tungku Tigo sekaligus menjaga barang-barang kami.
Tidak lupa kami berdoa kepada Tuhan meminta perlindungan dan kesuksesan. Hari menunjukan pukul 8 pagi. Kabut masih belum beranjak di kaki Gunung Marapi ini. Sang mentari pagi belum bisa memecahkan embun dan menyingkirkan kabut.
Terlihat suasana Minggu pagi itu sepi saja. Tak banyak aktivitas penduduk desa terlihat. Hanya anak-anak yang tengah bermain di halaman rumah.
Perlahan namun pasti, kami bertiga menyusuri jalan setapak. Lalu memasuki ladang penduduk. Jalan lurus dan masih datar. Disampingnya ada kali kecil yang mengalir deras. Tapi airnya masih jernih. Tidak terlihat keruh sebagaimana habis hujan.
Kemudian masuk track menanjak. Hawa udara di gunung berasa beda. Suara khas hewan gunung mulai terdengar. Diantaranya suara siamang (monyet) dan burung.
Jalan mulai becek dan licin. Masih di area ladang warga. Tak lama berjumpa dengan gubuk yang saya maksud. Disini beristirahat sebentar. Pemandangan disini sebenarnya lepas. Namun karena kabut belum pudar, hanya terlihat putih saja.
Kembali lanjut berjalan. Medan becek sedikit menghambat laju pergerakkan. Tiap sebentar kembali istirahat. Betul-betul ekstra keras untuk melaluinya. Sepatu kami sudah macam kena bedak.
Hewan pacet satu persatu mulai hinggap di kaki. Saat istirahat baru disingkirkan. Ketika berjalan dibiarkan saja. Beberapanya berhasil menembus ke dalam kaus kaki sepatu.
Pada hal sudah diolesi autan. Ditambah lagi dengan tembakau. Memang tidak mempan juga. Sepertinya mereka pada lapar berat pagi ini. Jadi mengabaikan aroma autan dan tembakau.
Keringat terus membasahi tubuh. Tak lama, masuk hutan gunung. Suara siamang terdengar nyaring dari kejauhan. Bersahut-sahutan. Seakan memberi tahu ke penghuni hutan lainnya.
Ketika selesai istirahat, si Emil ingin mencoba membawa salah satu tas karel kami. Raju menyerahkan tasnya.
Dia mengaku belum pernah merasakan membawa tas sebesar itu. Awalnya terlihat agak janggal mengenakannya. Lalu dibantu Raju dengan menyetel tali tas.
Baru pas menempel di punggung. Agak kontras kelihatannya. Tubuhnya memang kurang sepadan dengan karel 60 liter.
Kami melanjutkan lagi perjalanan. Tanjakan terasa lumayan berat. Terkadang melipir ke pinggir semak-semak untuk menghindari area becek dan genangan air.
Terlihat si Emil agak kesusahan mengatur keseimbangan saat mendaki. Nafasnya memburu cepat. Tiap sebentar mengatur kembali tas di punggung.
Sekali-kali terpeleset kakinya. Terkadang agak oleng ke samping dan juga ke belakang. Maklum karel si Raju ini lumayan berat.
“Mil, gak usah dipaksakan bawanya. Nanti badannya pegal-pegal”, ujar Raju bercanda saat kembali istirahat. Dia sedikit ketawa. Terlihat belum mau melepaskannya.
“Gak apa-apa bang. Baru ini pertama merasakannya”, jawabnya polos sambil tersenyum.
Tapi tak lama dia gak sanggup juga. Saat kembali beristirahat, tas diserahkan kembali kepada Raju.
“Memang berat ya bang. Belum biasa saya membawanya”, ujarnya polos. Kami tersenyum melihat pengakuannya.
Sudah 1 jam lebih perjalanan. Taksiran saya, saat start tadi sekitar 2 jam lebih untuk mencapai Tungku Tigo. Tapi bisa lebih lagi, mengingat medan yang sangat berat. Begitu penjelasan saya ke Raju di sela-sela istirahat.
Sementara air ‘jampi-jampi’ belum menunjukkan reaksi apa-apa. Sempat saya singgung mengenai hal ini. Hal yang sama juga dirasakan Raju.
Kabut mulai memecah. Mentari pagi berhasil menghalaunya. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Belum ada tanda-tanda bahwasanya kami akan dikawal oleh suruhan sang Kakek.
Timbul dalam pikiran saya, sepertinya sang kakek mungkin membatalkan kesepakatan. Baru kemudian, Raju menyatakan juga ketika beristirahat lagi. Si Emil saat itu berada agak di atas kami. Dia ikut pula istirahat sambil membersihkan pacet di kakinya.
“Gor, misi ini seperti tanda tanya”, ujarnya disela-sela nafas yang masih memburu.
“Ya Ju, pokoknya sampai dimanalah. Mudah-mudahan kakek itu bisa mengerti dengan situasi kita”, tanggapan saya untuk tetap menyemangati.
Terlihat seekor burung agak besar melintas di atas pohon. Seperti burung elang. Raju pun menoleh ketika saya beritahu.
Kami memperhatikan pohon yang lumayan tingginya. Belum terlihat tanda-tanda burung itu akan terbang lagi.
“Mungkin gak burung itu suruhan kakek?”, ujar saya lagi.
“Bisa jadi”, jawab Raju sambil meraih vedples di pinggang sebelah kirinya.
Kami bercerita sejenak. Dari belakang paha saya terasa ada sesuatu yang berlendir. Sudah tahu apa yang hinggap, segera saya pencet. Lalu jatuh di sela-sela celana.
Busyet, besar juga nih pacet. Terasa darah mengucur di paha saya. Mau tak mau harus ditutup dengan kapas. Celana pramuka saya pelorotkan hingga selutut. Raju mengeluarkan P3K praktis dari tasnya.
Darah yang lengket di paha dibersihkan dengan kapas. Lalu dioles dengan obat luka. Kemudian ditutup dengan kapas dan terakhir diplester. Tujuan agar darah tidak mengucur.
Sementara di atas kami si Emil tengah asyik membersihkan pacet di kakinya. Tak lama, kami melanjutkan kembali perjalanan.
Suara khas hewan hutan tak henti bergema. Seakan-akan memberi semangat dalam irama alam. Syahdu memang.
Cahaya matahari menembus dari sela pepohonan. Langit pun mulai agak cerah. Kami terus melangkah. Sesekali ada yang terpeleset. Tanjakan makin lama semakin berat. Belum lagi licinnya jalan.
Ada pohon besar membelintang di tengah lintasan. Terlihat bekas tumbang. Dilihat mungkin baru beberapa hari saja tumbang. Disini saya ekstra keras untuk menemukan kembali lintasan jalannya.
Beruntung golok tebas tidak ditinggalkan di rumah Emil. Jadi bisa membersihkan dahan-dahan dan ranting pohon yang menghalangi jalan. Selain fungsinya demikian, juga sebagai alat untuk bertahan dan kelangsungan hidup di hutan gunung.
Ini juga memakan waktu tidak sedikit. Target waktu untuk sampai ke Tungku Tigo jadi molor. Walau begitu, semangat kami tetap masih menyala. Harapan masuk ke Telaga pelangi seakan-akan membayang di depan mata.
Singkatnya, sampailah kami ke lokasi yang dikatakan Tungku Tigo tersebut. Dan area kawasan ini boleh dibilang sudah bebas dari pacet.
“Ini Ju, lokasinya. Itu pohon besarnya”, saya menjelaskan ke Raju dengan nafas yang masih tersengal-sengal.
Kemudian, kami membentangkan plastik terpal. Untuk membuat bivak. Dibantu Emil, tali rafia diiikatkan ke beberapa dahan pohon. Lalu diikatkan lagi ke plastik terpal.