Beberapa Hari Kemudian.
Dua hari setelah itu.
Saya menjumpai teman yang dititipi pesan. Di tempat kostnya, tidak begitu ramai seperti biasanya. Mungkin karena tengah hari yang panas, lebih memilih istirahat dalam kamar.
“Gimana, berhasil nembusnya Gor?”, tanya teman saya. Ia baru saja pulang dari pasar. Terlihat dia senang saya muncul di kostnya.
Jadi teringat, bahwa teman saya ini pernah pergi mendaki gunung ke Marapi bersama teman kostnya dan beberapa pendaki lain. Saat di atas, dia dan teman cewek satu lagi melihat rombongan kecil berpakaian hitam-hitam dekat cadas arah hutan larangan.
Yang anehnya, hanya dia dan temannya saja yang melihat rombongan itu. Sementara teman-teman lainnya sama sekali tidak melihat. Padahal, mereka dalam posisi yang tidak terlalu jauh dari rombongan tersebut.
Diceritakan, ia sempat bertegur sapa dengan rombongan itu. Ada anak kecil juga terlihat. Dibalik gundukan cadas yang tinggi menuju arah turun ke Pariangan, rombongan berpakaian hitam ini hilang.
Diamati terus olehnya, tetap tidak terlihat pergerakkan dari rombongan tadi. Bila diperhatikan lagi di balik gundukan cadas itu, tidak ada pohon pelindung sama sekali.
Hal ini sempat luput dari perhatian saya saat ritual dengan sang kakek. Teringat akan hal ini, saya simpulkan itu bisa jadi penghuni dari Telaga Pelangi.
“Yah, gagal nembusnya Lit”, ujar saya singkat. Lalu, saya ceritakan perihal sebenarnya. Tak lupa pula jadi perhatian penduduk setempat. Termasuk, ada yang minat untuk dijadikan mantu.
Lita pun tertawa sambil menutup mulutnya. Terlihat barisan giginya yang putih dan rapi. Ketawanya sampai membuat warga kost lainnya jadi melongok dari balik celah pintu dan jendela.
Lita menarik nafas panjang. Kemudian ia pergi ke kamar kost. Tak lama membawa buah pisang dan anggur. Ia habis menjenguk saudaranya yang sakit. Pulangnya singgah ke pasar membeli buah sekalian kebutuhan dapur.
Saya langsung menyambar pisang sarai. Buah ini sangat saya sukai. Memang ia tahu kegemaran saya suka pisang sarai. Dibalik rasanya manis ada kelat-kelatnya. Kalau kata ibu saya, si belanda sangat gemar makan pisang ini. Harganya pun di atas dari pisang biasa.
“Terus, ada rencana mengulang kembali?”, tanyanya mencoba memancing. Tapi terkesan nada melarang.
“Belum ada. Sepertinya mungkin itu yang terakhir diizinkan. Mungkin juga karena kami melanggar kesepakatan, maka dianggap tidak boleh lagi”, tutur saya, sambil menggaruk-garuk kaki di bekas gigitan pacet.
Lita memperhatikan kaki saya. Banyak memang bekas cupangan pacet hinggap di kaki. Ada puluhan banyaknya. Lalu, ia ke dalam kamarnya lagi. Saat balik, ditangannya sudah ada bungkusan tissue dan obat merah.
Saya ambil sehelai, lalu saya bersihkan kembali bekas gigitan pacet di dekat mata kaki dan sela jari. Karena darah mulai kembali merembes keluar. Bahkan ia pun ikut membantu membersihkannya.
Saya tercenung. Tidak terlihat kesan jijiknya. Jantung pun mulai berdegup kencang. Ada aura lain di dada. Tapi saya tetap berusaha bersikap biasa saja.
Saya tahu, bahwa ia berencana dijodohkan. Tapi dia belum mau. Dia masih ingin menikmati masa lajangnya. Bekerja dan mencari pengalaman.
Terdengar musik lagu dari kamar kost di ujung beranda rumah. Dari siaran radio yang diputar. Cukup jelas terdengar ke tempat kami duduk di teras. ‘When You Tell Me, That You Love’, by; Diana Ross. Jadi, kebetulan nuansanya seperti ini.
Banyak juga yang naksir sama dia. Baik dari teman-teman pecinta alam, juga dari anak mahasiswa. Ada juga dari pegawai.
Saya jujur saja, memang menyukainya. Selain bisa dipercaya, ia juga baik dan ramah kepada siapa saja.
Di tempat kostnya ini ada saudara dari pemilik kost. Dan berencana mau menjodohkannya dengan saudaranya tersebut.
Karena saya terlihat akrab dengannya maka ibu kost ini agak terkesan kurang suka. Tapi anaknya yang masih es em pe senang sekali dengan saya. Terlebih lagi kalau sudah bercerita soal gunung dan memancing ikan.
“Lit, pesan itu masih dijaga kan, belum diceritakan ke siapa-siapa?”, tanya saya setelah selesai membersihkan bekas luka cupang pacet.
Dia menjawab belum, sesuai pesan. Ia terima dari Uni Des, saat mau berangkat ke pasar. Kemudian, menghubungi saya setelah itu. Yang ternyata belum berangkat.
Sempat ada yang bertanya ke dia, kenapa tumben sendiri malam minggunya. Yang bertanya teman sesama pendaki gunung juga.
Lita menjawab bahwa ada saudaranya yang sakit. Dan minta ditemani malam itu. Si penanya menawarkan bantuan untuk mengantarnya ke rumah saudaranya. Karena dia dipandang senior yang dihormati, maka Lita pun mau diantarnya.
Saya mendengar tuturannya itu hanya tersenyum kecut saja. Dibalik itu ia memang sengaja menceritakannya untuk melihat rekasi saya. Memang, Lita ini menyukai saya. Inginnya dia mau melihat sejauh mana saya benar-benar serius dengannya.
Pancingannya halus tapi mengena juga, bathin saya dalam hati.
Tidak lama, hari beranjak sore. Saya pamit darinya karena mau berjumpa dengan Bang Temok. Dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Dengan berjalan kaki, saya menuju ke Pasar Raya. Tidak terlalu jauh juga dari tempat kostnya. Sepanjang jalan, masih terbayang aksi Lita tadi membersihkan luka saya.