Ia angsa hitam di kelompoknya. Jika hanya ditilik dari penampilan, memang tampaknya ia berbaur sempurna dengan keempat pemuda yang selalu terlihat bersamanya. Namun, saat orang mengenalnya lebih jauh, mereka akan dapat memahami kejanggalan pada dirinya. Kejanggalan yang membuatnya anomali di kelompok yang hampir homogen itu.
Namanya Vincent, walaupun ia lebih sering dipanggil Vinnie oleh teman-temannya. Kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi dengan rambut hitam kecokelatan bergelombang yang ia biarkan melewati kerah kemejanya. Garis-garis wajahnya tegas, meski matanya yang biru terang selalu terlihat teduh melengkapi senyum ramah yang melengkung di bibirnya. Semua orang berpaling saat melihatnya. Ketampanan eksotis yang dimilikinya memang selalu menarik perhatian. Walaupun, bukan berarti Vincent sendiri menikmati perhatian itu.
Penampilan eksotis Vincent didapatnya dari penggabungan darah Indonesia ibunya dengan darah Eropa ayahnya. Dua manusia dengan penampilan fisik yang sangat berbeda ternyata bisa menghasilkan karya indah yang tak terduga. Tapi, justru karena keunikannya inilah Vincent selalu merasa asing di mana pun ia berada. Kulit putih pucatnya menjadi aneh saat ia berbaur dengan teman-temannya yang berkulit langsat atau sawo matang. Ia juga membenci iris matanya yang begitu berbeda dari orang-orang di lingkungannya.
Perbedaan itu membuat Vincent dijauhi teman-temannya. Setelah usahanya untuk berbaur kerap kali terpatahkan, akhirnya ia memutuskan tidak peduli. Jika memang keunikannya membuatnya berbeda maka biarlah demikian. Lagi pula, ia sama sekali tidak keberatan dengan kesendirian yang melingkupi dunianya.
Sampai akhirnya salah seorang murid pindahan di SMP-nya mendekatinya. Mungkin awalnya yang terjadi hanyalah kedekatan alami yang secara tak sadar dibentuk dua orang yang sama-sama dianggap aneh. Vincent karena keunikan penampilannya, dan murid pindahan itu karena kehadirannya di lingkungan baru. Tapi, dari sana, lahir hubungan persahabatan erat yang membuat Vincent dan Rhea, murid pindahan itu, tidak terpisahkan.
Sebetulnya, sifat mereka berbeda jauh. Vincent yang telah terbiasa dengan keterasingan tumbuh menjadi pribadi pendiam yang lebih gemar menghabiskan waktu istirahat di kelas dengan buku di tangan. Sementara Rhea, dengan segera ia akan mengumpulkan teman karena sifatnya yang hampir tak bisa diam. Vincent lebih menyukai tempat sepi yang dihinggapi sunyi, sedangkan Rhea bisa gila bila berada dalam kesunyian terlalu lama.
Anehnya, walaupun sifat keduanya sangat berbeda, hubungan persahabatan mereka tidak pernah putus. Sampai mereka memasuki jenjang kuliah dan dalam dunia persahabatan mereka, masuk tiga orang baru: Nio, Renata, dan Kiiyan yang memiliki sifat hampir identik dengan Rhea. Mereka berempat telah terkenal karena tidak pernah ragu mencoba hal-hal baru, sekalipun hal itu bersifat negatif. Karenanya, Vincent sang anak baik lagi-lagi menjadi sebuah anomali. Kali ini dalam kelompoknya sendiri.
***
Kalau saja bukan karena ajakan Rhea, Vincent mungkin tidak akan berada di tempat ini sekarang.
Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ruang tamu rumah Rhea yang luas telah disulap menjadi tempat perkumpulan dadakan bagi kelompok mereka. Ayah Rhea yang anggota tentara sedang dinas ke luar pulau, sedangkan ibunya menginap tiga hari di Puncak dengan kelompok arisannya. Rhea pun memiliki kuasa penuh selama beberapa hari atas rumah mewah tempat mereka tinggal. Dan, sebagaimana mahasiswa pada umumnya memanfaatkan kesempatan, Rhea tidak membuang waktu untuk mengundang teman-temannya bermalam di sana.
Lima orang dewasa muda dengan kebebasan penuh yang dikumpulkan menjadi satu sering kali menghasilkan bencana. Kali ini pun, Vincent menduga hal itu tidak akan terelakkan.
Dua botol kosong minuman keras tergeletak begitu saja di lantai. Botol ketiga telah dibuka dan kali ini sedang berada di tangan Renata sebelum beredar ke yang lain. Bau alkohol menguar di udara, membuat Vincent sedikit pening. Di antara mereka, hanya ia yang tidak menenggak minuman keras itu sama sekali.
“Kalian udah kebanyakan minum. Kamu yakin, Rhe, ayahmu nggak akan sadar kalau koleksi minumannya berkurang?”
“Kamu kayak orang tua aja, sih, Vinnie,” Rhea mendengus. Matanya menyipit, berusaha fokus. Saat pandangannya akhirnya berhasil menajam kepada sosok Vincent yang hanya memutar bola mata ringan, Rhea mengulum seringai. “Kamu sendiri sama sekali nggak minum. Loser.”
Gelak tawa dengan segera memenuhi ruangan saat teman-teman mereka yang lain menyetujui perkataan Rhea.
“Hei, Vinnie, tuh, masih terlalu kecil buat minum,” Renata terkekeh setelah melontarkan ejekan itu. Ia mengayunkan botol minuman di tangannya ke hadapan Vincent. “Dia belum boleh pegang botol ini!”
“Oh, harusnya kita kasih Vinnie susu dalam dot! Kayaknya lebih cocok, hahaha,” Kiiyan menimpali sebelum tergelak atas candaannya sendiri. Tampaknya, alkohol memang dapat membuat orang-orang bertindak lebih bodoh daripada biasanya.
Nio mencibir, “Kalian salah. Vincent, tuh, cuma nggak mau aja image anak baiknya rusak. Udah kubilang, kan, dia itu nggak punya tempat di kelompok kita. Aku nggak ngerti kenapa kamu mempertahankan dia, Rhe.”
Gelak tawa yang tadinya memenuhi ruangan dengan segera tergantikan hening. Bahkan, Renata dan Kiiyan pun berhenti tertawa. Senyum mereka lenyap, tergantikan ekspresi khawatir. Kiiyan bahkan berjengit tidak nyaman di posisinya. Suara dingin Nio dengan segera memecah keceriaan berlebihan di antara mereka.
Hubungan Nio dengan Vincent tidak pernah baik. Semua orang—bahkan, mereka yang bukan anggota kelompok kecil ini—tahu itu. Entah apa yang membuat Nio begitu membenci Vincent, tapi setiap ada kesempatan, Nio tak akan ragu mengejek Vincent. Bukan hanya sekali ia menyuarakan keinginan mendepak Vincent dari kelompok mereka. Hanya ketegasan Rhea dalam mempertahankan Vincent di kelompok merekalah yang membuat Nio tidak bertindak lebih lanjut.
“Mending kamu diam aja, deh, daripada ngeluarin kata–kata bodoh lagi. Alkohol udah bikin kamu nggak waras.”
Ketegangan di ruangan segera meningkat setelah Vincent membalas dengan tenang. Senyum di wajahnya tampaknya justru membuat Nio makin naik pitam. Dengan geraman kesal, Nio sudah hendak beranjak dari couch yang ia duduki saat suara Rhea menghentikannya.