Kami masuk gang yang hanya bisa dilewati satu mobil, jalan yang lumayan sempit dan tidak cukup untuk bersimpangan dengan yang lain. Mas Atung sedikit kesulitan dan sesekali menggerutu melewati jalan yang bergelombang. Beberapa orang dengan alat-alat lengkap berjejer di tepi jalan menunggu mobil kami lewat. Jalan sedang dalam perbaikan.
"Sebelah mana ndalemnya?" Mas Atung bertanya tanpa menoleh. yang sedang kami cari adalah rumah kiai Zahid. Aku dan Lula sudah merencanakan sowan sejak satu bulan yang lalu. Fitri dan Rahayu, saudara kembar tetangga kiai Zahid, menyarankan untuk sowan setelah aku dan Lula mengeluh kisah cinta yang tak kunjung tersampaikan.
"Kita parkir di sini" Rahayu mengintruksikan. Kami berhenti di sebuah tempat wisata masih dalam proses pembangunan. Danau dan berjejer gazebo yang menarik perhatian. "Tidak ada tempat parkir di rumah kiai Zahid, kita harus berhenti di sini dan jalan kaki" Rahayu melanjutkan.
kami berenam turun dan mengambil krupuk udang ukuran besar dan mengangatnya menuju ndalem. Semilir angin sejuk mengiri langkah kami. Mas Atung yang sejak lama memiliki perasaan lebih pada Rahayu, terus mencoba mengajaknya ngobrol selama perjalanan menuju ndalem. Meski tampak engan, Rahayu terlihat nyaman bersama Mas Atung.
"Nanti setelah sowan, kita wajib mampir ke tempat wisata tadi ya." Mutia dengan semangat melangkah mendahului aku dan Sahla yang mulai terseok mengangkat bawaan.