Tsurat Abadi

Harjo S. Royani
Chapter #39

Tiga Puluh Delapan

Josephine pingsan. Kejadian-kejadian yang terjadi di mimpinya ketika Ia koma menyerang otaknya secara tiba-tiba ketika Dhody datang. Dokter memeriksa nadi dan keadaan jantung Josephine. Salah satu suster tersebut memberikan suntikan obat ke dalam botol infus yang sedang terhubung ke tangan Josephine untuk mengalirkan cairan yang ada di dalam botol tersebut. Obat yang berwarna merah gelap tersebut dimasukkan ke dalam botol dan langsung mengubah warna cairan infus tersebut dalam setengah suntikan. Satu suntikan penuh cairan tersebut mengubah warna cairan tersebut yang sebelumnya berwarna biru cerah menjadi ungu gelap.

“Ibu tolong ikut saya ke ruangan.” Ujar Dokter tersebut setelah menaikkan kecepatan tetesan dari cairan infus tersebut.

Dokter pun pergi meninggalkan ruangan. Ibunya Josephine mengajak Dhody untuk menemani dirinya mengikuti Dokter tersebut pergi ke ruangannya. Satu suster lain membawa peralatan keluar yang telah digunakan dan meninggalkan rekan kerjanya tersebut untuk memberikan penjagaan secara medis ke Josephine selama Ibunya Josephine dan Dhody berbicara dengan Dokter Faisal. 

Sesampainya mereka di depan ruangan, Dokter Faisal membuka pintu berwarna coklat yang di terbuat dari kayu. Memiliki sedikit kaca buram di bagian atas tepat di depan wajah Dokter. Gagang pintu yang berwarna silver Ia putar sembilan puluh derajat ke bawah dan Ia dorong pintu tersebut hingga terbuka lebar. Lampu ruangan secara otomatis langsung menyala ketika pintu dibuka. Dokter pun langsung mempersilahkan mereka berdua untuk masuk ke dalam ruangan. 

Terlihat ada sebuah lemari di ujung ruangan yang berhadapan dengan pintu. Di sebelah kiri ruangan, terdapat meja kayu yang diberi cat warna hitam dan kaca bening di bagian atasnya. Di belakang kursi meja, terdapat Jas berwarna putih yang menjadi cadangan dokternya jika yang Ia kenakan terkena noda yang tidak pantas untuk dilihat. Lampu-lampu berwarna kuning cerah menyinari ruangan, terhitung ada empat lampu yang tergantung di dalam plafon di setiap sudut ruangan yang cukup untuk menyinari ruang kerja dokter yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk menampung berkas-berkas pasien yang Ia tangani dan beberapa kursi untuk berbicara dengan keluarga pasien.

Sesampainya di dalam ruangan, Dokter langsung mengambil dan membuka berkas yang ada di atas meja kerjanya. Ia duduk di atas kursi yang berada di sisi dalam meja tersebut. Dhody dan Ibunya Josephine duduk di atas kursi di sisi lain meja. Dokter tersebut menuliskan data mengenai perkembangan Josephine yang baru saja terjadi ke dalam berkas tersebut. 

18.05 - Josephine pingsan kembali. Nadi, nafas dan detak jantung bekerja dengan normal. Tidak ada gejala apa-apa yang menandakan Josephine kembali koma.”

Dalam tulisannya, Dokter tersebut menuliskan nama obat yang diberikan melalui suntikan infus. Tertulis Pilkada sebagai obat yang diberikan melalui cairan infus tersebut. Selesai mencatat perkembangan Josephine dan pemberian obat tersebut, Dokter Faisal mulai berbicara.

“Kemungkinan ini efek dari obat tersebut,” Dokter menjelaskan dengan panjang lebar. “Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, Ketika Ia bangun dari koma, Ia akan tidak sadarkan diri untuk sesaat. Ini merupakan efek dari obat tersebut dan akibat dari kita memainkan koma seseorang. Kita memaksakan seseorang yang koma untuk bangun dan sadar lebih cepat yang mana seharusnya itu merupakan kehendak Tuhan.”

“Tadi, kita baru saja memberikan dosis terakhir untuk Josephine ketika Ia bangun. Mekanismenya adalah ketika Josephine mengalami pingsan setelah Ia sadar, obat pilkada perlu diberikan untuk yang terakhir kalinya. Kita harus menunggu obat tersebut bekerja kembali. Tidak ada yang bisa kita lakukan, semua itu tergantung kemampuan dan kemauan Josephine untuk bangun kembali. Obat tersebut hanya dapat memberikan rangsangan kepada syaraf otak Josephine untuk dapat menyadarkan dirinya.”

“Tapi Dok, jika tidak salah, waktu Dokter menjelaskan obat tersebut pertama kali ke kami, akan ada kemungkinan terburuk yang bisa terjadi ketika kita memberikan obat tersebut untuk yang terakhir kalinya,” Ibu Josephine mencoba mengingat pembicaraan tersebut. “Apa itu, Dok?”

“Jika Josephine tidak kuat, Ia akan meninggal.” Ujar Dokter Faisal. Ia menatap kedua kerabat pasiennya tersebut.

“Apa dokter bilang? Meninggal?” Teriak Dhody. Dhody yang mendengar Dokter dengan mudahnya menjelaskan efek obat tersebut, mulai tersulut emosinya.

“Itu hanya kemungkinan terburuknya. Semua tergantung pada Josephine. Saya sudah bilang di awal, ini semua tergantung dengan kemauan dan keinginan hidup Josephine. Obat tersebut memang memiliki dosis yang cukup tinggi. Kita sudah setuju di awal untuk memberikan obat tersebut. Dan lagi pula, itu masih jauh lebih baik daripada kita harus menunggu dengan tidak pasti kapan Josephine bangun.”

“Dokter sungguh gila!” Dhody berteriak kembali. Ia bangun dan menghampiri Dokter tersebut. Menggenggam kerah Jas putih yang Dokter kenakan tersebut dan hampir memberikan kepalan tangan ke arah wajah Dokter tersebut.

Dokter Faisal tidak membalas dan tidak berusaha melawan. Ia membiarkan Dhody mengangkat kerah Jas putihnya. Tanpa ekspresi bersalah, Dokter Faisal dengan tenang menghadapi amarah Dhody dan kesedihan Ibunya Josephine.

Lihat selengkapnya