Tsurat Abadi

Harjo S. Royani
Chapter #18

Tujuh Belas

Tembakan pun terjadi. Sudah berkali-kali tembakan dilakukan di teras rumah Dhody dan Josephine. Penyanderaan yang dilakukan oleh Fahra benar-benar tidak dipedulikan oleh para tetangganya. Tidak ada tetangga satupun yang keluar rumah untuk melihat kondisi tetangganya ini. 

Suara tembakan terakhir yang terjadi tidak membuat Josephine ataupun Dhody yang jelas-jelas diarahkan kepadanya. Suara tembakan itu malah membuat Fahra terjatuh. Josephine dan Dhody yang melihat Madamnya terkulai lemas di depan rumahnya, langsung menghampirinya secepat yang mereka bisa. 

“hoy hoy hoy. Madam. Madam Fahra!” Dhody gerakkan bahu Fahra yang tergeletak lemas tidak bernyawa itu. Peluru yang menimbulkan suara nyaring tersebut telah bersarang di kepalanya. Darah tersembur dari lubang yang diakibatkan peluru tersebut hingga ke jalanan di depan rumah Dhody. Keluar mengalir seperti air. 

Josephine membukukkan badannya sambil berjongkok di dekat tubuh Fahra. Ia melepaskan pistol yang di genggam Fahra dan melemparnya sejauh yang Ia bisa. “Dhod, bagaimana ini? Aku panik!”

“Aku tidak tahu. Cepat hubungi ambulance.” Josephine cepat-cepat bangun dari posisinya, mencoba meraih ponselnya. Dari tempatnya, Dhody melihat keluar rumahnya, melihat dari arah mereka datang dari luar komplek, tidak ada satu orang pun yang berada di sepanjang jalan. Lalu Ia melihat ke arah satunya. Tepat di depan rumah tetangganya di sebelah kiri dari rumahnya, berdiri seorang pria penuh dengan luka tembak dan luka sayatan pisau. Pria ini menggunakan pakaian serba hitam, termasuk sepatunya. Hanya kemejanya saja yang berwarna putih. Jas dan celananya penuh dengan bercak darah.

“Dia benar-benar berisik!” Ucap pria itu.

Josephine yang baru saja berdiri, melihat pria itu yang sepertinya akan terjatuh, mengabaikan tujuannya untuk mengambil ponsel dan pergi ke arah pria itu untuk menangkapnya. Jelas saja, pria itu terlihat terluka begitu parah. Setelah tubuh pria tersebut dapat ditangkap oleh Josephine, pria itu mulai tidak sadarkan diri. Ia melepaskan genggaman pistolnya tanpa sepengetahuannya. 

“hoy, mas! mas!” Josephine mencoba membangunkan pria tersebut. 

Perlahan, pria tersebut mulai menutup matanya, tidak sadarkan diri.

***

… Satu jam sebelumnya …

Bos, apa Bos tidak berpikir ada yang aneh dari Bb selama ini?” Aldo yang sedang berada di sudut ruangan, merapikan berkas lama yang sudah tidak terpakai, mulai mencurigai Bb.

“Apa maksudmu?”

“Perilakunya. Dia satu hari, dia bisa sangat diandalkan, pada hari berikutnya, Ia bisa sangat menyebalkan.”

“Bagiku itu tidak masalah. Selama dia memberikan hasil yang memuaskan, itu tidaklah penting di geng ini!” Sang Bos sangat mempercayai Bb. Hasil kerjanya memang belum pernah mengecewakan sejak Ia memutuskan untuk mengasuhnya. Hak asuh yang Ia dapatkan dengan membayar pihak rumah sakit untuk memalsukan kematiannya.

“Tapi Bos, untuk yang terakhir kemarin, Ia tidak berhasil memberikan apa-apa kepada kita. Kesimpulan yang dia berikan juga salah mengenai nama panggilan yang diberikan oleh Black untuk para pemain.” Sambil memegang kotak berkas berwarna hitam, Ia mengeluarkan pendapatnya mengenai fakta yang ada.

Kid, listen! Keadaan geng kita sudah tidak sekuat seperti dulu. Untuk sekarang, yang bisa Aku andalkan disini hanyalah Kau dan Bb. Dan ada baiknya kau perhatikan saja untuk sekarang. Kamu belum punya hak untuk mengambil perintah utama di geng ini!”

Tak lama lagi, Dad. Tak lama lagi. Suara hati Aldo.

Well, jika geng ini sudah berada di tanganku, Aku akan merubah keadaan ini,” Aldo berbicara sendiri. “Geng pembajakan yang lain sudah benar-benar tidak memandang kita sebagai saingannya. Orang-orang kita juga sudah banyak yang berkhianat hanya untuk uang bayaran yang lebih besar.”

“Ya. Memang sialan para bedebah itu!”

Dikala mereka sedang menunggu kedatangan Bb, tiba-tiba suara tembakan terdengar dari luar ruangan. Aldo dan Bosnya yang sedang berada di dalam ruangan untuk menunggu Bb terdiam sesaat untuk mendengarkan suara tersebut dengan seksama.

“Bos!” Salah satu anak buahnya membuka pintu dengan penuh luka ditubuhnya. Banyak lubang akibat peluru yang diterima olehnya. “Bb…” Sebelum Ia menyelesaikan kalimatnya, Bb menusukkan pisau dari belakang punggungnya. Darah yang keluar dari punggungnya membasahi sebagian wajah dan rompi Bb. Pria tersebut jatuh dengan darah yang masih keluar dari punggungnya.

Aldo yang berada di dekat rak usang yang berisi berkas-berkas tidak terpakai, mencoba menghampiri anak buahnya tersebut. Diwaktu yang bersamaan, Bb memasukkan granat ke dalam ruangan untuk meledakan tempat tersebut. 

Granat tersebut bergelinding ke arah kolong meja, dimana Bosnya sedang duduk di atas meja tersebut. Terus bergelinding hingga benar-benar tepat berada di bagian bawah meja yang sedang diduduki. Aldo yang melihat granat tersebut berhenti tepat di bawah Ayahnya itu, segera berlari menuju Ayahnya.

“Dad, NO!”

Ledakan yang tidak diinginkan oleh mereka berdua pun terjadi. Ayahnya Aldo yang sedang duduk di atas mejanya pun terlempar jatuh dengan kaki yang hancur. Hanya menyisakan sebagian kakinya. Darah mengalir deras keluar dari kakinya. Kepala yang langsung terbentur lantai yang tidak diberikan keramik, membuat pria paruh baya tersebut tidak sadarkan diri. Meja yang biasa digunakan untuk menjelaskan rencana operasi, hancur berantakan. 

“Daaad!” Aldo meneriaki Ayahnya yang terkena ledakan tersebut. 

Belum selesai dengan satu bom, Bb melemparkan granat kedua yang dimilikinya. Tanpa jeda, Ia juga langsung menarik pelatuk dari granat ketiga yang dimilikinya dan melemparkannya ke dalam, begitu seterusnya hingga ada empat granat dilemparkan dan meledak hampir bersamaan. Aldo yang berada di dalam ruangan seorang diri, harus merelakan Ayahnya mati terkena granat dan tidak memiliki waktu banyak untuk menghampiri tubuhnya. Granat-granat yang dilemparkan Bb dari pintu membuat Aldo harus mencari tempat berlindung di dalam ruangan tersebut. Ia pergi ke balik rak usang itu dan berlindung dari granat yang ada. Bersembunyi dan menunggu waktu yang tepat untuk menghampiri tubuh Ayahnya yang tergeletak lemas tidak bernyawa itu.

“Dad.” 

***

… Dua jam sebelum penyerangan Josephine …

Lihat selengkapnya