TTM

Arslan Cealach
Chapter #2

Pagi Para Sapi

Setiap pagi wanita itu harus bangun pagi pukul empat subuh meski baru bisa tidur satu jam sebelumnya karena banyak alasan. Bergerak seperti boneka tanpa jiwa sebagaimana anggota masyarakat kapitalis yang menjadikan harta benda sebagai tuhan. Dengan wajah polos tanpa sapuan make up. Selesai mandi dan menunaikan sholat Subuh ia langsung melesat ke pemberhentian angkot untuk mencegat kendaraan umum pertama yang melaju di jalur itu. Ia perlu segera pergi ke halte bus kota di terminal yang akan mengantar ke kantor yang berlokasi sangat jauh dari rumah.

Orang zaman sekarang menyebutnya dengan istilah tua di jalan. Yah, tapi siapa peduli juga pada hal yang akan terjadi pada banyak orang itu. Satu-satunya yang harus manusia khawatirkan zaman sekarang adalah istilah mati di tengah jalan. Karena tidak punya uang. Tidak punya tempat tinggal. Tidak punya makanan.

Untuk itu, melakukan pekerjaan apa pun bahkan jika bertentangan dengan ajaran agama yang ia anut. Harusnya semua sah dan diperbolehkan saja, bukan? Tapi, apa memang begitu? Bukankah tiap orang akan memperoleh balasan untuk semua yang mereka lakukan?

*

“Selamat pagi, Bapak. Apakah benar saya sedang bicara dengan Bapak Slamet Sukamto?” tanya Rena dalam usahanya memenuhi target harian hari ini. Menggunakan suara lembut yang persuasif dan senyum serta intonasi penuh kebohongan. Berusaha memikat. Bagai kail dengan umpan mainan yang tak bisa dimakan.

“Iya, betul saya Slamet. Ini siapa dan ada apa, ya?”

Calon mangsa di seberang memakan umpan pertama. Telponnya tidak langsung dimatikan saja sudah membuat ia sangat bersyukur. Waktunya melempar beberapa umpan lanjutan.

“Kalau begitu izinkan saya memperkenalkan diri dulu, Pak Slamet. Saya Rena dari Seycour Finance Solutions. Hari ini Bapak Slamet sangat beruntung karena kami sedang mengadakan promosi khusus untuk pengajuan pinjaman dengan bunga rendah. Apakah Bapak Slamet bersedia meluangkan sedikit waktu untuk mendengar penawaran kami?” lanjutnya. Melontarkan pertanyaan pancingan yang makin dalam.

Lawan bicara di seberang sambungan menjawab, “Wah, maaf nih, Mbak. Sepertinya saya belum tertarik untuk mengambil pinjaman apa pun saat ini. Sudah, ya.”

Saat calon mangsa… maksudnya calon nasabah hampir lepaskan umpan yang sempat menempel di mulutnya. Segera tarik kailnya, “TOLONG TUNGGU SEBENTAR, PAK SLAMET!”

Lawan bicara yang merasa tidak enak karena penelponnya seorang perempuan ramah bersuara lembut. Kemungkinan akan mengunyah lagi umpan yang dilempar. Tanda upaya itu berhasil ditunjukkan dengan telpon yang masih tersambung.

Segera serang lagi, “Saya sangat mengerti, Bapak Slamet.” Terus panggil namanya untuk menciptakan ilusi kedekatan personal yang membuat lawan bicara tak tega meninggalkan kita. “Namun, saya rasa ini bisa jadi solusi tepat untuk memenuhi kebutuhan mendadak atau rencana besar yang sedang Bapak Slamet pertimbangkan sekarang. Sayang sekali lho Pak kalau tidak diambil. Kami menawarkan pinjaman dengan bunga hanya 1,5% tiap bulan dengan proses persetujuan yang sangat cepat untuk mendapatkan barang impian Bapak Slamet.”

Lihat selengkapnya