TTM

Arslan Cealach
Chapter #5

Pulang Malam

“Saya pulang dulu ya, Pak,” salam Rena pada satpam ruko kantornya sebelum membuka pintu utama. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Hari ini pun ia terpaksa lembur lagi tanpa dibayar karena hasil kerjanya belum mencapai kewajiban harian telemarketing.

Selain para atasan dan para senior yang memang masih di sana untuk mengurus lebih banyak pekerjaan. Hanya ia pegawai divisi telemarketing yang masih di sana sampai semalam ini.

“Mbak Rena, Mbak Rena,” panggil Pak Satpam tampak baru teringat oleh sesuatu.

“Ada apa, Pak?” tanyanya lemas sambil membalik badan. Ia yakin wajahnya kini tampak seperti hantu karena kelelahan sekaligus mulut yang sudah berbusa karena terlalu banyak memberi tawaran hutang. Yah, memang itu pekerjaannya, sih.

Pak Satpam lantas merogoh sesuatu dari dalam kolong meja. Sebuah kotak yang dibungkus plastik. “Ini, Mbak. Tadi siang ada mas-mas dari kantor sebelah nganterin ini. Katanya makan siang Mbak Rena ketinggalan.”

“Ya Allah,” ucap Rena sedikit terharu. Tak ia sangka laki-laki yang kadang mulutnya menyebalkan itu ternyata bisa bersikap sangat baik dan perhatian. Seketika rasa lelah luar biasa yang tadi menguasai diri jadi berkurang sedikit. Walau begitu ia tidak punya niat berhutang budi pada Tara karena sudah membayar pesanannya yang tak sempat ia ambil. “Terima kasih ya, Pak,” ucapnya tulus.

“Ya sudah, tidak apa-apa. Hati-hati pulangnya ya, Mbak. Sudah malam banget ini,” balas satpam itu ramah. Rasanya hanya para satpam yang bisa ia sukai sepenuh hati dari kantor jahanam tempatnya bekerja.

Rena berjalan keluar dari gedung kantor menuju gelap dan sepinya suasana malam di luar. Tapi, hal seperti ini bukan yang pertama terjadi dan ia sudah terbiasa. Barang penampakan mak kunti atau mas poci saja sama sekali tak bisa menakuti.

“Ada hal lain yang jauh lebih menakutkan,” ucapnya sambil menutup satu mata di wajah yang tertunduk. Sekujur tubuhnya benar-benar Lelah. Ia berharap punya pintu ke mana saja yang bisa membuat sampai rumah dalam satu kedipan mata.

“Sudah jam segini entah masih sempat atau tidak kalau mau naik bus kota,” pikirnya sambil melihat jam tangan kulit sintetis yang ia pakai di pergelangan tangan kiri. Karena ia akan membutuhkan waktu paling tidak satu jam untuk berjalan kaki ke halte bus kota paling dekat dari kantornya. Dan setengah jam paling cepat jika menggunakan ojek online.

“Suitt suitt suitt,” siul lelaki tidak jelas di warung pecel lele kaki lima yang baru saja ia lewati.

Tidak peduli, tidak peduli, tidak peduli, batin Rena sambil terus melangkah. Karena ruko kantornya berada cukup jauh dari jalan raya. Ia harus berusaha keras hanya untuk mencapainya.

Lihat selengkapnya