Tara segera melempar gumpalan perasaan negatif yang memenuhi isi hatinya sejak tadi dengan lagi-lagi memasang topeng kebohongan. Dengan ceria menjawab, “Aku nggak apa-apa, sih. Cuma habis jatuh dari tempat tidur aja.” Segera ia ajak Rena menjauh dari kantornya menuju mall di dekat sana.
“Tempat tidurmu di atas pohon kelapa apa bagaimana, Tar?” tanya Rena dengan intonasi serius.
Ia segera menggelengkan kepala. Menjawab, “Nggak, nggak, nggak. Kamu tau tempat tidur yang tingkat itu, ‘kan? Aku pakai tempat tidur jenis itu di kamarku biar bisa hemat tempat karena bagian bawahnya dijadikan meja kerja.”
“Tempat tidur kayak gitu bukannya biasanya ada pengamannya ya di samping? Kamu tidur pakai gaya apa kok sampai bisa jatuh, hah?” tanya Rena lagi. Kekhawatiran yang sedang ia rasakan sebenarnya jauh lebih parah, tapi ia berusaha menahan diri agar tak sampai membuat Tara kurang nyaman. Apalagi “tak ada” hubungan apa pun di antara mereka. Hanya teman.
Tara segera tertawa, “Ahahaha, nggak. Nggak tau, deh. Apartemen… maksudnya kosanku kayaknya lagi banyak setan. Habis mimpi buruk aku tadi malam.”
Setelah itu tak ada lagi yang terucap. Membuat perjalanan keduanya menyusuri jalan pertokoan jadi begitu sunyi. Hanya suara langkah keduanya yang terdengar. Tap tap tap.
“Hari ini kita mau makan apa, nih? Jangan makanan Pasundan lagi, ya. Bervariasi, lah. Indonesia kan luas,” ucap Tara berusaha memecah kediaman. Ia khawatir dalam diamnya Rena merasakan hal lain yang ingin ia ucapkan soal keadaannya hari itu.
“Kamu tau gak, Tar?” tanya Rena tiba-tiba. Menatap lurus ke depan tanpa sedikit pun melihatnya.
“Soal apa, nih?”
“Mengucapkan satu kebohongan akan membuat kita terus melontarkan kebohongan lain untuk menutupi kebohongan pertama.”
Dengan wajah canggung Tara menggaruk bagian belakang kepala. “Terus…? Apa ada yang habis berbohong di antara kita?” tanyanya.