Kembali ke saat ini.
*
Ucapan Rena terhenti saat melihat wajah Tara yang tanpa ekspresi tiba-tiba tampak meneteskan air mata. Kilatan yang terpantul cahaya tampak jelas dalam situasi mereka. Rasa canggung dan perasaan tak menentu menguar dari dalam diri wanita itu. Kebingungan karena ini adalah kali pertama ia melihat Tara yang selalu ceria sekaligus menyebalkan tampak begitu serius.
“Silahkan makanannya,” ucap pramusaji menghidangkan pesanan Rena dan Tara ke atas meja. Menyadari situasi sepasang tamunya yang dingin dan terasa tidak enak membuatnya ingin segera pergi saja.
“Aku minta maaf ya, Tar,” ucap Rena pelan sambil mendorong pesanan Tara ke hadapan pria itu.
Ia kembali tersenyum ceria seolah cairan asin itu tak pernah menetes dari pelupuk matanya. “Haha, minta maaf buat apa?” ia bertanya.
“Aku khawatir sikapku udah membangkitkan kenangan nggak enak buat kamu. Aku khawatir ucapanku malah buat perasaanmu makin nggak enak. Dan yang paling penting,” Aku takut kalau ucapanku bikin kamu jadi gak suka sama aku, lanjut Rena dalam hati.
“Wah, jarang lho aku lihat ada perempuan zaman sekarang cukup rendah hati sampai mau minta maaf duluan,” komentar Tara sambil mulai menikmati makanan, “Kamu orangnya pasti people pleaser, ya? Nggak baik, lho. Itu bisa buat orang jadi seenaknya sama kamu. Apalagi dalam kasus barusan kan kamu nggak punya salah apa pun.”
Rena pun mulai menikmati pesanannya. Membalas, “Mungkin kamu benar. Aku hanya takut membuat orang lain tersinggung atau nggak nyaman sama aku. Aku khawatir buat di… buat di… hmm.”
“Buat di apa?” tanya Tara.
Rena segera menggelengkan kepala. “Nggak, nggak apa-apa.”
“Buat ditinggalin?” tanya Tara. Kembali pada tabiatnya yang kadang suka ceplas-ceplos.
“…”
“Kalau buat orang lain aku nggak tau, sih. Tapi, aku nggak akan pernah ninggalin kamu, kok. Tenang aja.”
“Jangan hibur aku dengan sesuatu yang melibatkan komitmen seperti itu, Tar. Kamu hanya akan buat orang yang sudah berharap jadi sedih saat kamu mengingkari ucapanmu sendiri. Karena selalu ada kemungkinan untuk itu,” nasihat Rena.
“Iya juga, ya. Padahal aku juga nggak yakin apakah bakal masih hidup sampai nanti malam. Sok banget bertekad nggak akan pernah ninggalin seseorang. My bad,” balas Tara.
“Nggak usah ngomongin kematian atau hal sejauh itu,” respon Rena, “Bisa jadi nanti malam pun kamu udah lupain pertemanan kita karena tiba-tiba ketemu sama cewek cantik dan seksi di jalan. Lalu, entah bagaimana akhirnya kalian pacaran setelah itu menikah. Hal kayak gitu jauh lebih ‘mungkin’ untuk terjadi, ‘kan? Walau mati juga ‘mungkin’, sih.”