Bram tau ia berasal dari keluarga terpandang. Ia tau wajahnya cukup rupawan didukung postur tubuh tinggi dan tegap idaman kaum perempuan. Otaknya sudah dilatih dengan keras sejak kecil sehingga jadi cukup encer. Ia bukan fakboy yang hobi celap-celup ke sana kemari seenak jidat atau gemar mempermainkan hati perempuan.
Tidak, bukan. Bram sadar dirinya cukup berharga dan harusnya menerima penghargaan setara. Tapi, yang namanya hidup tentu saja bukan hanya soal hal-hal yang harusnya terjadi. Jauh lebih banyak rencana Tuhan itu berada jauh dari jangkauan ekspektasi.
“Sejak kejadian kemarin… kenapa pulang ke rumah aja jadi hal nakutin, sih?” ia bertanya sambil tetap berada di dalam kemudi mobil. Mengamati bangunan kosannya yang besar dan mewah dari kejauhan.
Mungkin malam ini akan jauh lebih sederhana jika akhirnya ia kembali beranikan diri untuk mencari tempat tinggal baru. Tapi, pindah ke tempat baru yang setelah itu akan ditemukan lagi oleh kakaknya. Yang menganggapnya tak lebih dari samsak pelampiasan kemarahan. Dan setelah itu membuatnya harus mencari tempat baru untuk rasa aman semu.
Bukankah akan terasa sangat menjemukkan? Sampai kapan dia mau hidup seperti itu? Terkurung dalam pusaran keputusan antara iya dan tidak. Terkurung dalam perasaan mengambang yang tak pernah bisa dilepaskan.
“Haahh, aku ini emang pengecut banget, ya.”
Untuk mengubur perasaan gelapnya. Sengaja ia ingat lagi satu-satunya hal menyenangkan yang terjadi hari ini tadi siang.
*
[Lanjutan chapter sebelumnya]
Rena menghela nafas panjang, “Haaaaahh.”
“Kenapa?” ia bertanya.
Wanita itu tersenyum sarkastis dan menjawab, “Andai aja kamu cewek. Pasti udah aku peluk,” jawabnya sambil mengangkat kedua tangan dengan gestur seolah ingin memeluk.
Tara sedikit salah tingkah mendengar itu, tapi ia tetap harus bersikap cool dan jual mahal. Alhasil ia angkat juga kedua tangannya dalam gestur ingin memeluk. “Kalau gitu mari kita berpelukan lewat udara.”
“Ups.” Saat mendengarnya Rena langsung menutup mulut berusaha menyembunyikan tawa yang terbit. Bagaimana bisa hal semacam ini terjadi dalam hubungannya dengan Tara yang statusnya hanya “berteman” itu? Sungguh tidak terduga.
Tara ikut tersenyum geli menyadari tindakannya sendiri, “Hee hee hee, kenapa? Aku kayaknya alay banget, ya. Kayak orang nggak ingat sama umur aja.”
Senyum di bibir Rena mengembang lebih lebar. Ia berkata, “Bener, Tar. Waktu muda aja aku tuh nggak pernah lho ngelakuin hal-hal kayak gini. Apa yang terjadi sama kamu ini benar-benar yang pertama, sih.”