TTM

Arslan Cealach
Chapter #18

Tidak Ada

Keesokan harinya. Klek. Ia dorong perlahan pintu kamarnya.

“Ya Allah, alhamdulillah, allahuakbar, subahanallah, lailahailallah,” ucap Tara sebagai respon perasaan lega tiada tara saat akhirnya memberanikan diri membuka sendiri pintu kamarnya yang kosong. Tak ada penampakan lelaki mengerikan seperti kemarin. Karena jujur saja… hanya membayangkan wajah Atma pun seperti bisa membuat ia kena serangan kecemasan akut.

Tapi, bagaimanapun juga hidup harus terus berlanjut. Ia bukan Romeo yang akan ikut mati saat Juliet mati. Ia adalah Romeo yang saat Juliet mati maka akan mencari Juminten.

Nothing is a problem. Everything will be fine,” ucapnya berusaha meyakinkan diri sendiri.

Di kamar yang luas itu ia buka pintu yang terhubung ke peranginan kamarnya agar mengalirkan udara pagi segar ke dalam ruangan. Berharap kebaikan pagi memberi keberuntungan pada setiap benda di sana dan pemiliknya.

“Ya Allah, semoga hari ini semua berjalan dengan lancar,” doanya sambil menatap mentari yang belum seutuhnya bangkit di kejauhan. “Lancar dengan Rena. Semoga nanti lancar juga dengan Mas Atma dan Ayah.”

Ia tutup pintu kaca itu dan kembali masuk. Segera pergi ke kamar mandi karena ingin berendam air hangat agar tubuh jauh lebih rileks. Ia tak ingin lagi membatasi kebahagiaan untuk diri sendiri.

“Maafin aku, Mas Atma. Aku lebih pantas untuk bahagia karena semua yang sudah kualami. Kenangan buruk yang akan tetap kutelan seorang diri dalam ingatan busuk ini sampai mati. Kuharap suatu saat kamu akan temukan kebahagiaanmu sendiri.”

*

Setelah itu semua berjalan seperti biasa untuk Tara. Jalanan pagi kota besar yang mulai macet dan semburan karbon kendaraan bermotor yang mulai merusak kesegaran udara pagi. Namun, di tengah semua kebiasaan itu. Yang terbayang dalam benaknya hanya wajah Rena.

Tentu saja, dia bukan perempuan paling menarik dari segi fisik yang pernah Tara temui. Beberapa perempuan yang (entah bagaimana) pernah ia pacari pun rasanya jauh, jauh, jauh lebih cantik dilihat dari sisi mana pun. Bisa dibilang walau cukup cantik, jika dibanding dengan standar kecantikan masa kini yang kurang masuk akal. Rena memang kalah jauh.

Tapi, kini Tara sudah cukup dewasa untuk menyadari bahwa cinta bukan sesuatu yang bisa dinalar logika. Jika memang patokannya fisik, orang yang buruk rupa takkan pernah bahagia karena cinta. Dan harusnya ia salah satu orang paling bahagia. Tapi, tidak seperti itu, ‘kan?

“Aaahh,” ia menghela nafas panjang saat kendaraannya terjebak macet di salah satu titik jalan besar. “Andai aja rumahnya Rena lebih dekat,” keluhnya berharap bisa melakukan hal romantis seperti mengantar jemput wanita itu setiap hari.

Lihat selengkapnya