TTM

Arslan Cealach
Chapter #19

Teman tapi Mengapa?

Tara senang karena sepulang kerja ia punya alasan kuat untuk tak langsung pulang ke kosan. Mungkin ia memang pengecut yang belum bisa berhadapan dengan trauma akan masa lalu buruknya. Tapi, untuk kali ini saja ia tak ingin juga jadi seorang pengecut yang terus tak berani hadapi perasaan sendiri.

Ia belum tau apakah yang ia rasakan selama hampir satu tahun kenal dengan Rena itu merupakan cinta. Tara tidak yakin pernah rasakan hal semewah itu sebelumnya. Tapi, ini adalah kali pertama ia merasa benar-benar ingin memastikan hal itu. Dan yang paling penting…

“Nggak bisa, nggak bisa, nggak bisa,” ucapnya berulang kali dengan perasaan resah menguasai hati saat mobil yang ia kendarai terjebak dalam arus macet jam pulang kerja kota ini.

Tara sangat takut kehilangan Rena. Membayangkan tak bisa lagi melihat senyuman tipis dan sikapnya yang realistis saja bisa membuat dadanya berdegub kencang karena takut.

“Jangan seperti itu saat sedang mengemudi, Tar. Nanti kamu kecelakaan,” nasihat sebuah suara dari kursi di sampingnya.

Ia arahkan wajahnya yang sembab ke sisi kiri mobil. Muncul bayangan Rena yang baru satu kali duduk di sana. Air mata tanpa sadar menetes begitu saja. Menjadi aktualisasi dari laparnya ia akan rasa cinta.

*

Kengebutannya dalam perjalanan kedua ke rumah Rena ini membuat ia bisa sampai dalam rentang waktu lebih cepat dari sebelumnya. Tanpa membuang waktu segera ia arahkan mobilnya ke daerah perkampungan tempat rumah wanita itu berada. Ia hentikan mobil di depan pagar. Melihat ke dalam lewat celah pagar tampak pintu ruang tamu terbuka. Terdapat beberapa orang yang tak ia kenal sedang beraktifitas di dalamnya.

“Hah, mereka siapa? Rena mana?” Tara bertanya-tanya. Habis orang-orang yang ada di dalam itu terlihat sedang mengobrol dan tampak bersenang-senang sambil menonton televisi. Seorang pria tua, seorang wanita paruh baya, dan tiga orang anak perempuan.

“Permisi,” salam Tara setelah turun dari mobi.

Pria di dalam meminta salah satu anak perempuan itu keluar. “Ada apa ya, Mas?” tanyanya.

“Mbak Rena ada di mana ya, Dek?” tanya Tara langsung tanpa basa-basi tidak penting. Ia tidak peduli juga pada siapa mereka.

“Sebentar ya, Mas,” jawab anak perempuan pendek yang tak bisa Tara tebak berapa usianya itu. Badannya gendut, rambutnya keriting, dan kulitnya gelap. Sangat tidak mirip dengan Rena yang kulitnya kuning langsat, badannya tinggi langsing, dan rambutnya cenderung lurus bergelombang.

Tak lama kemudian keluarlah pria itu menghampiri Tara. “Ada apa ya, Dek?” tanyanya. Ia mengambil jarak cukup jauh dari pagar agar bisa melihat wajah Tara yang bertubuh tinggi.

“Selamat malam, Om. Saya… teman kantornya Regina. Nama saya Bram,” ucapnya memperkenalkan diri dengan nama profesionalnya.

“Oh iya, Dek? Hmm, tapi Regina sedang tidak ada, ya,” beritahu pria itu tanpa sedikit pun ada guratan raut wajah khawatir.

“Saya dengar dari supervisor katanya Regina sakit, ya?” tanya Tara. Berbasa-basi berharap pria itu segera paham dan mengatakan di mana wanita itu berada. “Ada beberapa hal penting soal pekerjaan yang harus saya katakan ke dia. Telpon atau chat nggak dibalas soalnya,” dustanya.

Lihat selengkapnya