Sementara itu, Rena dan Tara sedang di sebuah coffe shop yang mereka datangi seusai makan siang untuk mengonsumsi sesuatu yang bisa menyegarkan pikiran.
“Ren, aku senang karena kamu sudah baikan. Tapi, aku tidak senang karena kamu nggak melakukan apa yang aku pinta tadi malam,” ucap pria itu dengan tampang sedikit menyesal.
Wanita itu tersenyum canggung. Menjawab, “Walau ingin juga aku nggak bisa, Tar. Aku nggak ngerasa punya hak buat ngerepotin kamu lebih dari ini. Setelah semua hal baik yang kamu lakukan ke aku. Aku bahkan masih berpikir dengan cara apa kira-kira harus membalas semua kebaikanmu.”
Keduanya duduk berhadapan dengan jendela dan pemandangan di luar mall. Membuat pemandangan jadi luas meski kadang hati sedang sempit.
Tara membalas, “Bisa nggak kamu nggak usah bahas soal balas budi atau sebagainya? Kamu bikin seolah hal yang aku lakukan jadi kayak nggak ada artinya aja. Nggak semua orang melakukan sesuatu karena ingin mendapat imbalan dari sesama manusia tau.”
“Terus… apa boleh aku tanya karena apa? Alasannya?” tanya wanita itu.
Tara menjawab diiringi senyum lembut di wajahnya yang tampak kalem seolah hidup tanpa masalah, “Karena aku yakin apa yang kita lakukan ke orang lain dan dunia ini sebenarnya adalah apa yang ‘akan’ kita lakukan ke diri kita sendiri.”
Sebuah gurat kekecewaan tiba-tiba terbit di wajah Rena. Untung saja lelaki itu tak bisa melihat wajahnya dari depan. Segera ia palingkan. “Oh, berarti kamu memang selalu sebaik ini sama semua orang, ya.”
Astaghfirullah, salah ngomong lagi aku, batin Tara kesal usai menyadari sendiri betapa banyak hal yang ia lakukan hanya memperdalam zona teman mereka. Haha, syaalan. Namun, di luar ia mencoba tetap tenang saat menjawab, “Kalau sama orang yang spesial ya enggak, dong. Kan kalau dari mereka aku nggak hanya mengharap dunia yang akan membalas tindakanku, tapi…”
“Siapa pun dia… dia pasti orang yang beruntung banget, ya,” komentar Rena kini menatap wajah pria di sampingnya.
Ya itu kamu, Rena, kamuuu, pekik Tara dalam hati karena merasa geregetan sendiri. Tapi, sesuai dengan apa yang Nardi katakan, ia harus menyesuaikan diri dengan tak malah makin memperdalam zona teman mereka. “Apa kamu pernah ngerasa gimana kalau ternyata selama ini kamu pun adalah sosok yang spesial buat orang lain. Apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya coba melempar pancingan.
Rena menjawab, “Haha, nggak mungkin. Aku nggak mungkin berharga buat siapa pun di dunia ini.”
Wah, gila, ucapan Nardi benar semua, pikir Tara dalam hatinya. Ia ingat lagi tadi malam tetangga kos sekaligus temannya itu berkata seperti ini…