Rena menghela nafas lega saat sampai di rumah dan tak ada kendaraan terparkir di garasinya atau tanda-tanda keberadaan manusia-manusia yang hanya memancing trauma dan membuat hidupnya semakin berat.
“Aman, Bu?” tanya pria yang dengan baik hati bersedia mengemudi sejauh ini lagi hanya untuk memastikan ia sampai rumah dengan aman sentausa.
Ia sedikit membungkukkan tubuh untuk melihat pria di kursi kemudi. Berkata, “Kelihatannya baik-baik aja. Makasih banyak ya, Tar. Aku benar-benar nggak tau bagaimana harus berterima kasih sama kamu.”
Tara membalas, “Ck ck ck, nggak usah dipikirin. Pikirin aja gimana cara ngumpulin uang sebanyak mungkin biar bisa cepat beli rumah itu dari bapakmu.”
Kini Rena tersenyum getir. Berkata, “Udah, nggak usah omongin dia. Bagaimanapun juga relasi terkutuk bernama hubungan anak dan orang tua ini nggak akan pernah berakhir bahkan sampai aku mati.”
“Hmm, aslinya aku masih pengen nemenin kamu, sih. Soalnya kamu kelihatan masih terbebani sama hal yang kemarin terjadi.”
Rena menjawab sambil sedikit menggelengkan kepala, “No, no, no. Aku nggak mau bikin kamu repot lebih dari ini. Kamu juga harus pulang sebelum semakin malam dan…”
“Dan apa?” tanya Tara tak sabar mendengar kelanjutannya. Berharap itu akan berakhir sebagai ungkapan yang menunjukkan bahwa apa yang ia rasakan tak sepenuhnya bertepuk sebelah tangan. Seperti, dan… jangan lupa telpon aku sebelum tidur. Atau hal-hal romantis lain. Haiyaaa.
“…tolong jaga diri kamu. Aku bener-bener trauma lihat penampilan kamu babak belur kayak waktu itu habis nganterin aku pulang. Jangan gitu lagi, ya.”
JLEB JLEB JLEB. Panah cinta cupid terasa baru saja membombardir hatinya. Sekalipun tanpa hubungan mesra. Entah kenapa sikap dan ucapan Rena benar-benar membuat ia bahagia dan merasa makin optimis.
“Kalau gitu Papa pulang dulu, ya,” pamitnya sambil tersenyum jahil dan melambaikan tangan.
Rena membalas lambaian tangan itu dan berkata sebelum mobilnya jauh, “Jangan ganjen sama penghuni Taman Lawang, ya.”
“Bwahaha, sembarangan kamu!”
Dan hari untuk mereka berdua pun seolah berakhir dengan happy ending. Yang tak mereka ketahui… malam belum benar-benar usai.
*
Sekujur tubuh Bram terasa remuk saat akhirnya ia sampai kosan. Hari sudah cukup malam dan sepi, tapi ia tak punya firasat hal buruk akan terjadi. Berjalan melewati depan kamar Nardi pun dari luar sudah tampak gelap. Sepertinya dia sudah tidur. Tanpa memikirkan apa pun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang sayangnya…
“Bangsat. Lampunya kenapa nyala lagi?” ia bertanya dengan gemuruh perasaan cemas yang menguasai perasaan. Membuat khawatir tak karuan.