“HWAHAHAHAHAHA!!!” tawa anak remaja laki-laki itu puas saat melihat Bram mulai menggila sambil berusaha menyerangnya.
“HAAAKKHH HAAAKKHH HAAAKKHH!!!” teriak Bram penuh kekesalan dan amarah saat melihat wajah adik tirinya itu makin meledek seperti berusaha mempermainkannya. Air mata Bram menetes deras sebagai bukti emosi buruknya yang memuncak.
Untung saja Atma cepat melompat turun dari mobil sebelum situasi makin tak terkendali. Segera ia tahan tubuh adik kandungnya dari belakang. Mencegahnya melakukan sesuatu yang hanya akan merugikan diri sendiri. Ia bisikkan sesuatu di telinga Bram, “Sikap lu ini nggak akan menghasilkan kebaikan apa pun. Lu cuma bakal bikin dia makin seneng. Ikuti gue, lah. Main keren!” nasihatnya.
Bram akhirnya lebih tenang. Ia segera melangkah ke arah pagar yang langsung dikejar oleh Atma.
“Mas Atma lihat sendiri bagaimana responku saat baru ngelihat anak itu. Aku beneran bisa gila sampai ketemu sama ibunya. Aku harus pergi,” beritahu Bram bersikeras.
“Bram, sampai kapan lu mau terus bersikap kayak pengecut dan nggak berani mempertahankan sesuatu yang harusnya milik lu?” tanya Atma tiba-tiba.
Deg. Pertanyaan yang meluncur masuk ke dalam telinganya bersama angin itu terasa menusuk relung jiwa. Wajah wanita yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba menelponnya saat tengah malam beberapa hari lalu memenuhi kepalanya. Seperti sengatan yang membuat ia ingin lepas kendali.
Sampai kapan kamu mau bersikap lemah, Bramantara?